Catatan Sejarah, Anto Bangun : “Sekali Borjuis Tetaplah Borjuis”

Anto Bangun - Sekretaris Pengurus Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Labuhanbatu

LabuhanBatu,KPonline – Hujan sore dan berlanjut ke malam ini membuatku tidak bisa melangkahkan kaki ke warung kopi untuk menikmati segelas kopi seperti biasanya, tidak bisa bercengkrama dengan rekan sesama buruh.

Jalanan masih becek berair karena belum di aspal walau masih masuk dalam kawasan kota Rantauprapat

Bacaan Lainnya

Waktu sudah menunjukkan pada angka 22.00 Wib, mungkin Warung kopinya juga sudah sunyi dan mau tutup karena sepi pengunjung akibat hujan yang berlangsung hingga malam.

Dari lemari kuambil sebuah buku usang, buku yang berceritera tentang sejarah Serikat Buruh dinegeri ini, dari mulai jaman penjajahan, orde lama, orde baru hingga orde reformasi.

Lelah membaca akhirnya aku menemukan sebuah kesimpulan untuk membandingkan jaman orde per orde. Ternyata perlakuan yang paling buruk kepada Buruh terjadi di masa orde baru dan orde reformasi sekarang ini.

Buruh tidak lagi tampil sebagai penentu kebijakan pemerintah seperti pada masa era orde lama. Di jaman orde lama Serikat Buruh hampir seluruhnya menjadi bagian atau underbownya partai Politik, sehingga sangat banyak buruh yang duduk di parlemen ikut merumuskan, menentukan dan memutuskan arah kebijakan pemerintah.

Sebaliknya di era orde baru tepatnya dimulai pada tahun 70-an, dengan kebijakan Pemerintah Soeharto seluruh organisasi Serikat Buruh dibubarkan dan yang dibenarkan berdiri hanya satu organisasi Serikat Buruh. Buruh pun dilarang untuk berpolitik, padahal hak berpolitik ini adalah bagian dari hak asasi manusia-nya Buruh yang di jamin dan dilindungi oleh Hukum.

Pecahnya reformasi pada tahun 1998 serta terbitnya Undang-Undang No.21/2000 tentang Serikat Buruh dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia ABDURAHMAN WAHID pada tanggal 04 Agustus 2000, ternyata tidak mampu melepaskan rantai belenggu Organisasi Serikat Buruh untuk ikut dalam politik praktis. Artinya kebebasan Buruh untuk terlibat langsung dalam kancah politik dengan membawa serta organisasinya tetap diperkosa oleh Negara.

Dari sini jelas dapat diketahui bahwa Pemerintah tidak pernah mengganggap keberadaan Buruh, walau secara nyata dan tidak bisa dipungkiri keberadaan Buruh merupakan salah satu pilar penentu perputaran roda ekonomi dan salah satu penyumbang devisa bagi negara.

Buruh diperlukan hadir keberadaannya ketika para elit saling berebut kekuasaan pada kancah Pemilihan Bupati, Gubernur, Legislatif dan Presiden. Buruh dipuja disanjung dengan sejuta kata manis demi mendapatkan simpati dan empati agar memilihnya.

Sayangnya para kaum proletar (kaum Buruh) di Negeri ini sampai sekarang tidak pernah Cerdas meski sudah berulang-ulang dikibulin dan dibutuhkan hanya sesaat.

Tidak pernah mau bercermin pada masa lalu meski hari ini nyata diperlakukan tidak adil, sewenang-wenang dan harus berjuang sendiri untuk atau demi kelayakan dan kesejahteraan hidupnya.

Yang lebih ironis belenggu dogma masa orde baru yang menganggap tuan pengusaha adalah Tuhan yang nyata belum bisa dihilangkan.

“Le, kerjo sing tenan, gak usah macem-macem, ra usah melu-melu ngelawan pimpinan, sa iki golek kerjo susah le, wes..nrimo wae” mungkin seperti inilah doktrinisasinya.

Buruh tidak pernah sadar bahwa para elit yang dahulu dipilihnya hanya tersenyum dan mengintip dari jendela kaca sebuah gedung mewah yang mungkin berkata “Nasib orang bodoh yang mau kubodohi dan kuperdayai” saat sang elit dari balik jendela melihat Buruh melakukan aksi jalanannya.

Penyesalan memang selalu datangya terlambat, “Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tiada berguna”

Nasi sudah menjadi bubur tidak mungkin kembali menjadi beras. Padahal memilih atau tidak memilih pada setiap pemilu adalah hak dari setiap individu Buruh, dan tidak ada sanksi hukumnya kalaupun Buruh tidak memilih.

Untuk apalah memilihnya kalau akhirnya mereka hanya bisa mengintip dari balik jendela kaca menyaksikan Buruh aksi.

Untuk apa hadir kalau hanya untuk dimanfaatkan saja dan dijadikan objek kepentingan sesaat.

Mereka yang duduk digedung megah tidak akan pernah berhenti untuk membahas RUU Omnibuslaw Ciptaker, meskipun buruh berteriak, memohon hingga menangis darah tidak akan mereka dengarkan.

Buruh tidak pernah menyadari bahwa para borjuis itu tidak akan pernah berubah menjadi Proletar, “Sekali Borjuis tetaplah Borjuis” kalaupun dia datang dengan seolah-olah baik seperti malaikat, itu hanya kamuflasenya demi tercapainya maksud dan tujuannya.

Pos terkait