Bola Liar Putusan MA Menjadi Anomie Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

Medan,KPonline – Pelapukan terhadap Negara bangsa Indonesia semakin hari semakin terasa sejak kesepakatan dan konsensus berbangsa dan bernegara yaitu UUD 1945 diamandemen. Mengamandemen UUD 1945 dan membuang Penjelasan UUD 1945 yang berisi pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 adalah tindakan jahat, itu sama artinya menghilangkan Panca Sila sebagai Ideologi Negara, sebab tafsir Ideologi negara berdasarkan Pancasila ya UUD 1945 asli dari pembukaan, batang tubuh dan penjelasan nya .

Negara tidak lagi di dasarkan pada Panca Sila dan UUD 1945 yang asli. Sebab aliran pemikiran ke Indonesiaan telah di amandemen dari sistem Negara berdasarkan Panca Sila menjadi sistem negara Presidenseil yang basisnya Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme.

Kekuasaan di perebutkan, banyak-banyakan suara, kalah menang, kuat-kuatan, pertarungan, dan menghasilkan mayoritas yang menang dan minoritas yang kalah. Sistem seperti ini jelas bertentangan dengan Panca Sila dan Bhineka Tunggal Ika.

Dengan tidak menjadikan Panca Sila sebagai dasar bernegara maka terjadilah Anomie. Dimana nilai-nilai yang selama ini menjadi falsafah hidup bangsa telah digusur dengan sistem Liberal dan Kapitalisme. Rupanya hal seperti ini menjadi sebuah kesadaran PDIP dengan hasil kongres di Bali yang ingin mengembalikan GBHN. Tetapi mereka lupa bahwa GBHN itu menjadi satu kesatuan dengan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, terjadilah ide RUU HIP yang ingin menjadikan BPIP berperan untuk menghadirkan GBHN dengan bungkus Pembinaan Ideologi Panca Sila.

Karena PDIP pada Visi dan AD ART nya berdasarkan pada pidato Panca Sila Bung Karno 1 Juni, maka terjadi keributan yang sampai sekarang telah menghujam dan membongkar luka lama Umat Islam.

RUU HIP adalah akibat di amandemen-nya UUD 1945, piranti-piranti, tata nilai yang sudah mapan dan menjadi konsensus pendiri negeri ini justru di aduk-aduk. Panca Sila menjadi Trisila, Eka Sila dan Gotong Royong Yang jelas tidak sesuai dengan rumusan Panca Sila yang ada pada pembukaan UUD 1945 18 Agustus 1945.

Pengagas RUU HIP rupanya kurang literasi kesejarahan-nya. Padahal Bung Karno sendiri sudah tidak pernah lagi bicara Panca Sila yang di peras-peras sejak UUD 1945 disahkan oleh PPKI.

Akibat dari di amandemennya UUD 1945 dan sistem berbangsa dan bernegara tidak lagi berdasarkan Panca Sila dalam Pilpres, Pileg, terjadi kerancuan aturan antara KPU, MK, dan MA. Harusnya MK itu didalam MA, sebab MA lah pemegang Lembaga Hukum tertinggi, bukan MK berdiri sendiri sehingga terjadi dua mata hari hukum yang justru tidak memberikan kepastian hukum.

Kekacauan hukum seperti ini tentu saja membuat negara ini Anomie yang menggambarkan keadaan yang kacau.

Putusan MA, Penolakan RUU HIP adalah bentuk penolakan masyarakat dan tidak adanya kepastian hukum. Regim penguasa tidak lagi menjalankan tata nilai negara berdasarkan Panca Sila. Tafsir Panca Sila menjadi alat politik yang diletakan pada RUU HIP tentu saja hal ini memicu bangkit nya rakyat yang sadar akan Negara-nya.

Negara ini didirikan dan dibangun dengan lima prinsip berbangsa dan bernegara yang disebut Panca Sila. Amandemen UUD 1945 telah memporak porandakan prinsip-prinsip yang sudah menjadi konsensus pendiri negeri ini. Akibat dari amandemen UUD 1945 kita kehilangan jati diri sebagai bangsa, kita kehilangan rasa nasionalisme ke Indonesiaan. Kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan roh. Kita tidak lagi mempunyai prinsip tersendiri, justru kita menjadi bangsa yang tergantung pada negara Asing negara Imperalisme.

“Saya benci imperialisme”

Saya membenci kolonialisme. Dan saya takut konsekuensi perjuangan terakhir mereka untuk hidup.

Kami bertekad, bahwa bangsa kami, dan dunia secara keseluruhan, tidak akan menjadi tempat bermain dari satu sudut kecil dunia.” (Soekarno Indonesia menggugat).
Bung Karno dalam pidato di BPUPKI Rapat besar pada tanggal 15-7-2605 dibuka Jam 10.20 mengatakan (cuplikan)

”Maka oleh karena itu jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enyakanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya“.

Jadi mengapa pendiri negeri ini anti terhadap individualisme, liberalisme, kapitalisme. Sebab semua itu sumber dari kolonialisme imperalisme, yang menjadi perjuangan bangsa ini untuk melawannya dengan mengorbankan harta darah, nyawa.

Individualisme, liberalisme, kapitalisme juga oleh pendiri negeri ini dianggap sistem yang salah. Sebab telah mengakibatkan kesengsaraan manusia di muka bumi akibat perang dunia ke satu dan perang dunia kedua.

Maka dari itu bangsa ini harus menggugat terhadap amandemen UUD 1945 yang justru bertentangan dengan dasar Negara Pancasila. Akibat sistem ketatanegaraan kita tidak sesuai dengan Pancasila dan pembukaan UUD 1945.

”Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enyah-kanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya”

Mari kita buka sejarah bagaimana orang tua kita, para pendiri negeri ini membentuk UUD 1945, membuat sistem bernegara di sidang BPUPKI.

”Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat. Kita telah menentukan di dalam sidang yang pertama, bahwa kita menyetujui kata keadilan sosial dalam preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.
Tidak dalam sidang yang pertama saja telah menjitir perkataan Jaures yang menggambarkan salahnya liberalisme di zaman itu. Kesalahan demokrasi yang berdasarkan kepada liberalisme itu.
Tidakkah saja telah menjitir perkataan Jaures jang menyatakan bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen mendjadi rapat raja-raja. Di dalam liberalisme tiap-tiap wakil yang duduk sebagai anggota di dalam parlemen berkuasa seperti raja. Kaoem buruh yang menjadi wakil dalam parlemen pun berkuasa sebagai raja. Pada sa’at itu pula dia adalah boedak belian daripada si majikan yang bisa melemparkan dia dari pekerjaan, sehingga ia mendjadi orang miskin yang tidak punya pekerjaan. Inilah konflik dalam kalbu liberalisme yang telah menjelma dalam parlementaire demokrasinya bangsa-bangsa Eropa dan Amerika.

Tuan-tuan yang terhormat. Kita menghendaki keadilan sosial, bat apa grondwet menuliskan bahwa manusianyaa bukan saja mempunyai hak kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat djikalau misalnya tidak ada sociale rechtvaardigheid yang demikian itu.

Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi “droits de l’homme et du citoyen”. Itu tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan.

Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan Negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya.

Prihandoyo Kuswanto – Ketua Rumah Pancasila

Marilah kita menunjukan keberanian kita dalam menjunjung hak kedaulatan bangsa kita, dan bukan saja keberanian yang begitu, tetapi juga keberanian merebut faham yang salah di dalam kalbu kita. Keberanian menunjukan bahwa kita tidak hanya membebek kepada contoh-contoh Undang-Undang Dasar Negara lain, tetapi membuat sendiri Undang-Undang Dasar yang baru, yang berisi kefahaman keadilan yang menentang individualisme dan liberalisme; yang berjiwa kekeluargaan, dan ke-gotong-royongan.

Keberanian yang demikian itulah hendaknya bersemayam di dalam hati kita. Kita mungkin akan mati, entah oleh perbuatan apa, tetapi mati kita selalu takdir Allah Subhanahuwataala.

Tetapi adalah satu permintah saja kepada kita sekalian: Djikalau nanti dalam zaman yang genting dan penuh bahaya ini, jikalau kita dikuburkan dalam bumi Indonesia, hendaklah tertulis di atas batu nisan kita perkataan yang boleh dibaca oleh anak cucu kita, yaitu perkataan: “Betul dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengecut”.

Jungkir balik terhadap lembaga hukum, persoalan hukum menjadi kacau balau, bagaimana mungkin Makamah Agung dianggap tidak bisa menganulir keputusan MK sementara MK adalah sebuah lembaga Komisioner. Terjadi dua matahari kembar dalam hukum di negeri ini sehingga terjadi ketidak pastian hukum dalam amar putusan-nya. Ini adalah bukti dari amandemen UUD 1945 berdampak pada rusak nya tatanan hukum jungkir balik termasuk RUU HIP yang lagi terjadi penolakan. Bagaimana mungkin Ideologi Negara Pancasila mau di letakan pada UU dan BPIP bukan di bentuk oleh MPR tetapi oleh Kepres.

Begitu gampang membuat UU yang tanpa norma UU Covid 19 misal-nya, ada-nya kekebalan hukum yang tidak boleh diaudit atau di persoalkan dalam rana pidana. Belum lagi Omnibuslaw yang jelas tidak lagi mengunakan norma-norma Panca Sila. Ini bisa kita lihat bagaimana para konglemerat bisa menguasai tanah seluas jutaan heaktar yang akhir-nya sama artinya telah terjadi Neo Kolonialisme yang di legalkan.

Eksperimen ketata negaraan yang akhir-nya hanya njiplak sana njiplak sini sesungguh-nya telah menistakan para pendiri negeri ini, bangsa ini semakin terpuruk yang akhir-nya hanya kembali pada penjajahan dan Neo Kolonialisme. Sebab mereka yang memimpin ingin enak-nya saja, ingin menikmati kekayaan dan melupakan Amanat Penderitaan Rakyat

Oleh Prihandoyo Kuswanto – Ketua Rumah Panca Sila