Jakarta, KPonline – Sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi terkait UU Pengampunan Pajak (tax amnesty), Selasa (20/9), menghadirkan tergugat Presiden RI yang diwakili oleh Menteri Keuangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, didampingi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi. Sementara itu, DPR RI diwakili Ketua Komisi Keuangan Melchias Marcus Mekeng. Ketika menyampaikan tanggapan, Sri Mulyani mengatakan bahwa penggugat tax amnesty, salah satunya buruh, tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan.
Menanggapi pernyataan Sri Mulyani, Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap Pemerintah dan DPR yang meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan legal standing pemohon (buruh) yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Menurut Iqbal, buruh adalah pembayar pajak taat yang mengisi SPT setiap bulan dan mempunyai NPWP. Sehingga terasa aneh bila DPR dan Pemerintah meminta legal standing buruh dibatalkan. Terutama sikap DPR sebagai wakil rakyat, yang dalam persidangan tersebut dipertanyakan keras oleh buruh, dia mewakili suara siapa?
“Suara DPR yang notabene adalah wakil rakyat lebih kuat bernuansa suara Pemerintah,” tegas Iqbal.
Buruh juga tidak sependapat dengan penjelasan Menkeu Sri Mulyani dalam sidang tersebut yang menyatakan pajak yang diambil oleh Pemerintah selama ini untuk kesejahteraan rakyat, serta nilai pajak setiap tahun bertambah. Pernyataan ini jelas membodohi rakyat dan menyakitkan perasaan buruh karena faktanya walaupun nilai penerimaan pajak bertambah tetapi angka kesenjangan pendapatan (gini ratio) justru meningkat. Ini artinya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dan yang lebih menyakitkan, para orang kaya (korporasi) tersebut yang notabene menikmati pertumbuhan ekonomi dari pajak yang dibayarkan oleh buruh dengan taat, dan secara bersamaan mereka malah mengemplang pajak.
Fakta lain menunjukkan, walaupun angka penerimaan pajak dari tahun ke tahun meningkat, tetapi realisasi penerimaannya tidak pernah tercapai setiap tahun (hanya berkisar 86% dari target.)
Buruh juga sependapat dengan pertanyaan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, yang mempertanyakan bahwa UU Tax Amnesty ini berpotensi menjadi pintu masuk pencucian uang, yang berasal dari uang korupsi perdagangan manusia, narkoba, dan dana ilegal lainnya atas nama pengampunan pajak. Karena dalam UU Tax Amnesty sumber dana repatriasi dan deklarasi tidak dipersoalkan dan tidak boleh dibuka ke muka umum.
Oleh karena itu, buruh tetap percaya dan meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan tuntutan pemohonan (KSPI, dkk) untuk menyatakan tidak berlaku dan membatalkan UU Tax Amnesty di wilayah RI.
Menurut buruh, UU Tax Amnesty melanggar UUD 1945 pasal 23A, yang menyatakan pajak bersifat memaksa bukan pengampunan. Pasal 27 yang menyatakan setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum, pasal 28F yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan informasi yang terbuka seluas luasnya, dan pasal 24 yang menyatakan tentang Hak Asasi Manusia.
Buruh juga akan melakukan aksi besar-besaran berskala nasional di 30 Provinsi dan 150 kab/kota pada 29 September dengan tuntutan cabut Tax Amnesty dan Cabut PP 78/2015 – Tolak Upah Murah – Naikkan Upah Minimum Tahun 2017 Sebesar 650 Ribu. Aksi di Jakarta akan dipusatkan di Mahkamah Konstitusi, Istana, Mahkamah Agung, serta kantor Komisi Pemberantasan Komisi dengan titik kumpul di Balaikota Jakarta yang diikuti hampir 10 ribu buruh se-Jabodetabek. (*)
Gambar: Teatrikal tax amnesty, tak ubahnya seperti money laundry.