Benarkah Akibat Politisasi Serikat Buruh Keropos di Bawah?

Jakarta, KPonline – Menarik untuk mencermati pernyataan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Haiyani Rumondang saat mewakili Menteri Ketenagakerjaan membuka Kongres VIII Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) di Jakarta Timur, Kamis (27/6/2019).

Dalam kesempatan itu, Haiyani mengungkapkan bahwa saat ini eksistensi serikat buruh dalam upaya membangun bangsa demi mensejahterakan anggota dan keluarganya menghadapi tantangan, baik internal maupun eksternal. menurutnya, tantangan internal tercermin dalam pertumbuhan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi.

Ini terlihat, dari sekitar 9 juta pekerja/buruh yang menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh pada awal reformasi 1998, kini hanya tersisa 2.717.961 pekerja/buruh. Dari 192.238 perusahaan, serikat pekerja/serikat buruh hanya eksis di 7.294 perusahaan.

“Jumlah tersebut mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya yang eksis di sekitar 11.852 perusahaan, ” kata Haiyani.

Menariknya, struktur atas gerakan buruh (Federasi dan Konfederasi) naik drastis. Federasi serikat pekerja/serikat buruh membengkak menjadi 137, dan Konfederasi menjadi 15.

“Politisasi dan polarisasi membuat struktur gerakan buruh keropos di bawah,” katanya.

Benarkah demikian?

Tudingan adanya politisasi yang membuat gerakan buruh buruh keropos di bawah bisa jadi benar. Tetapi keliru jika ini dikaitkan dengan meningkatnya kesadaran serikat buruh untuk melakukan go politik adalah bagian dari politisasi gerakan buruh.

Menurut saya, hal itu merupakan cerminan dari kebijakan politik pemerintah.

Banyaknya federasi maupun konfederasi mestinya tidak mengurangi jumlah buruh yang menjadi anggota. Namun ketika keanggotaan menurun drastis, mestinya kita juga mengevaluasi dinamika yang terjadi: apa sesungguhnya yang membuat buruh enggan berserikat?

Mayoritas anggota serikat buruh adalah karyawan tetap. Meski tidak menutup kemungkinan ada yang berstatus kontrak atau outsourcing. Berkurangnya keanggotaan, bisa jadi karena karyawan tetap yang menjadi anggota serikat sudah ter-PHK. Sedangkan mereka yang berstatus kontrak takut kehilangan pekerjaan jika menjadi anggota serikat.

Jika alasannya sikap politik serikat buruh. Bukankah ada banyak serikat yang tidak terlibat dalam dukung mendukung Capres? Tapi toh anggotanya juga mengalami penurunan.

Gelombang PHK yang terus teejadi dan pemerintah gagal menghentikan fenonena ini menjadi salah satu penyebab menurunnya keanggotaan serikat pekerja. Ambil contoh ribuan buruh di PT Freeport Indonesia yang ter-PHK. Mereka adalah anggota serikat pekerja. Tapi pemerintah terkesan lepas tangan dan tidak bergeming ketika dimintai bantuan penyelesaian,. Akibatnya jelas, jumlah anggota serikat mengalami penurunan.

Selain itu, kebebasan berserikat juga belum benar-benar mendapat jaminan. Banyak union busting terjadi. Serikat buruh diberangus ketika baru saja berdiri. Lagi-lagi, ketika mengadu ke instansi terkait, penyelesaiannya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Oleh karena itu, wajar jika keanggotaan serikat pekerja menurun. Mereka yang sudah berserikat banyak yang kehilangan pekerjaan, sedangkan membentuk unit kerja baru relatif sulit. Apalagi jika pelopornya kebanyakan masih berstatus sebagai karyawan kontrak atau outsourcing.

Tentu saja, kita tidak memungkiri ada hal internal dalam serikat pekerja yang harus dibenahi. Tetapi menuding ini semata-mata kesalahan serikat, tentu tidaklah tepat.