Bekerja Lalu Mati, Atau Berjuang Hari Ini ?

Bogor, KPonline – “Lalu apa yang harus kami lakukan sekarang ? tanya Nur kepada Alita. Sebuah pertanyaan yang wajar, disaat wabah virus Covid-19 merajalela seperti sekarang ini, buruh-buruh pabrik gamang dan khawatir. Pasalnya, hingga saat  ini, buruh-buruh pabrik masih harus terus bekerja. Tanpa pengawasan dan penjagaan yang ketat, baik dari pihak perusahaan maupun pihak pemerintah. Terus bekerja atau tidak mendapatkan upah. Tetap bekerja, atau tidak makan. Maklum saja, ribuan dari buruh-buruh pabrik tersebut, hanyalah buruh-buruh harian lepas.

“Aku justru mau bertanya sama kamu semua. Kalau kamu mati, kalau kalian mati gara-gara virus hari ini, apa masih bisa kamu, kalian akan terus berjuang bersama aku ? tanya Alita dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tatapan wajahnya mendung, seakan-akan ada air mata yang terbendung disudut matanya. “Kalau kalian mati, siapa yang akan aku ajak berjuang nantinya. Cobalah kalian pikirkan lagi !” setengah menghardik Alita berucap kepada kawan-kawannya yang mayoritas kaum buruh perempuan. Dalam hatinya pun sebenarnya tahu, jika mereka tidak bekerja hari ini, itu artinya besok pagi, mereka dan keluarganya tidak dapat sarapan, apalagi makan siang dan makan malam. Karena hari ini bekerja, agar esok hari bisa makan.

Bacaan Lainnya


Nur beranjak dari duduknya, bangku plastik yang mulai sedikit patah dipinggirannya. “Baik kalau begitu. Hari ini kami tidak bekerja. Tapi tolong, berikan kami sedikit uang, agar kami bisa makan buat esok hari” ujar Nur sambil mendekati Alita. Alita bergeming dari tempat ia berdiri, mundur satu langkah. Dia tahu, kalimat tersebut pada akhirnya akan terlontar dari salah seorang kawan seperjuangannya.

“Puasa. Kalian siap puasa ?” tanya Alita kepada Nur. Matanya yang mulai memerah, agak sedikit terbelalak, seakan-akan menantang mata Nur, yang sedari tadi menatapnya nanar. “Puasa ? Jangankan puasa 1 atau 2 hari. Rasa lapar adalah sahabat kami sehari-hari. Kami sering menahan rasa lapar, agar kami bisa menyisihkan sedikit uang buat kami tabung. Lapar ? Jangankan lapar, sakit hati dibentak Pak Mandor pun sering kami tahan. Karena kalau tidak, Pak Mandor sudah lama kami injak beramai-ramai. Jangan ajari kami puasa. Karena rasa lapar adalah sahabat kami selama ini” Nur menoleh ke arah kawan-kawan seperjuangannya.

“Betul !” jawab mereka secara beramai-ramai. “Kami sudah biasa nggak makan 2 hari” jawab Icih diujung ruangan. “Kami udah biasa lapar Mbak !” celoteh Mira ditengah-tengah kerumunan kaum buruh perempuan tersebut.

Alita terdiam membisu, mendengar jawaban dari kawan-kawan buruh perempuan yang ada didepan dirinya. Air mata mulai membasahi pipinya lesung dan sebagian dagunya yang tirus. Alita menangis dalam diam. Hatinya berteriak, mendengar secara langsung penderitaan kawan-kawan seperjuangannya.

“Ini semua salah pemerintah. Yang tidak becus mengelola negara ini. Kalian seharusnya dirumah. Dan upah kalian sudah seharusnya tetap dibayar” sambil mengeluarkan amarahnya, Alita menangis tersedu-sedu. Memuntahkan segala kemarahannya kepada negara.

“Negara hanya bisa menghimbau, tanpa memperhatikan nasib orang-orang kecil macam kita. Aku tahu, jika kalian tidak bekerja, kalian tidak akan mendapatkan upah. Tapi tolong, jaga diri kalian. Nyawa kalian lebih berharga ketimbang uang” Alita menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Menangis sejadi-jadinya.

Nur mendekap Alita. Tangisan Nur melebihi suara deru mesin pemintal benang yang terus bergerak. Mesin produksi harus terus berjalan, tanpa memperhatikan keselamatan buruh-buruhnya. Pelaku kapitalistik tanpa ragu-ragu dan tanpa belas kasih, seakan-akan membunuh para buruh.

“Kami hanya takut kepada Illahi. Kami dan keluarga kami lebih takut tidak makan esok hari. Jika kami mati, karena terjangkit virus hari ini, itu artinya sudah menjadi takdir kami” lirih Nur ditelinga Alita.

“Bagaimana mau berjuang, jika kalian mati esok hari ?”

Pos terkait