Arogansi Manajemen PT Yamaha, Ancaman Nyata bagi Demokrasi Industrial

Arogansi Manajemen PT Yamaha, Ancaman Nyata bagi Demokrasi Industrial

Di tengah narasi besar tentang pentingnya investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, kita sering kali lupa bahwa pilar utama kemajuan itu adalah keadilan sosial. Sayangnya, manajemen PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) tampaknya lupa  atau justru mengabaikan  prinsip dasar ini. Cara perusahaan memperlakukan para buruhnya, khususnya dalam kasus pemecatan Ketua dan Sekretaris PUK SPEE FSPMI, Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zaini Miftah, merupakan cermin buram dari wajah industri yang pongah dan sewenang-wenang.

Alih-alih menghormati hak-hak normatif buruh yang dilindungi undang-undang, manajemen PT Yamaha memilih jalan konfrontatif. Pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap dua pengurus serikat buruh dilakukan dengan alasan dugaan tindak pidana yang belum terbukti  sebuah manuver yang terang-terangan melanggar Pasal 153 ayat (1) huruf g Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang secara eksplisit melarang PHK terhadap pekerja yang menjalankan kegiatan serikat.

Ironisnya, bahkan ketika Kementerian Ketenagakerjaan RI dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi secara tegas menyatakan bahwa PHK tersebut tidak sah dan bahwa hubungan kerja tetap berlaku, manajemen Yamaha tetap bersikukuh. Mereka malah menggiring persoalan ke Pengadilan Hubungan Industrial  memperpanjang konflik, memperburuk suasana kerja, dan menunjukkan watak keras kepala yang jauh dari nilai-nilai keadilan industrial.

Pertanyaannya: di mana etika korporasi mereka? Di mana komitmen mereka terhadap dialog sosial?

Lebih buruk lagi, manajemen justru membingkai aksi protes ribuan buruh sebagai ancaman terhadap investasi, seolah-olah perjuangan pekerja untuk mendapatkan kembali haknya adalah bentuk penghambat pertumbuhan ekonomi. Ini retorika yang manipulatif, bahkan berbahaya. Menuntut keadilan bukanlah sabotase, melainkan inti dari demokrasi. Dan jika sebuah perusahaan global seperti Yamaha  dengan citra internasional yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan transparansi  justru menjadi pelaku represi terhadap hak berserikat, maka kita patut bertanya: apakah investasi seperti ini layak dipertahankan?

Peringatan keras harus diberikan kepada manajemen PT YMMA: praktik-praktik seperti ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi industrial. Pemerintah, publik, dan komunitas bisnis nasional perlu menaruh perhatian serius. Sebab jika tindakan semena-mena ini dibiarkan, maka preseden buruk akan lahir  bahwa pengusaha bisa bebas memberangus suara pekerja hanya karena berbeda pendapat.

Indonesia tidak membutuhkan investor yang takut pada serikat buruh. Yang dibutuhkan adalah pelaku usaha yang taat hukum, terbuka terhadap dialog, dan mau membangun hubungan industrial yang sehat. Karena hanya dengan cara itu, kemajuan bisa dicapai secara adil dan berkelanjutan.