Aku, Organisasiku, dan Keluargaku

sukses ( image : m.perempuan.com)

Bogor, KPonline – Musim hujan. Akhir 2015.

“Demo, demo, rapat serikat. Inilah, itulah. Tidak ada pekerjaan yang lebih penting apa?” Intonasi suaranya meninggi.

“Pranggg…” Piring melayang kearahku. Pecah berkeping-keping dan melukai jari kelingking kaki sebelah kiri.

Padahal, itu adalah piring kesayangannya sendiri. Hadiah perkawinan kami dari teman dekatnya yang sekarang tinggal di seberang pulau sana.

Aku tak pernah menyangka kemarahannya akan seperti ini. Tak terkendali.

Tentu saja, pertengkaran-pertengkaran kecil bukan sekali dua kali terjadi diantara kami. Tetapi biasanya tak akan lama. Setelah itu kami saling meminta maaf dan kehidupan normal berlanjut kembali. Tetapi tidak untuk kali ini.

“Nggak usah pulang sekalian.” Ketusnya sambil membanting daun pintu yang sudah mulai lepas engselnya.

Aku diam terpaku menyaksikan kejadian itu. Tanpa bicara. Tanpa ekspresi. Tidak seperti biasanya istriku semarah ini. Baru kali ini. Dan aku terhenyak dalam diam.

“Kau urus saja teman-temanmu yang di-PHK itu!” Terdengar suara dari dalam rumah. Aku masih berdiri di teras dan kakiku enggan beranjak pergi.

“Sekalian saja. Jangan kau urusi anak-anakmu! Kau tidak tau kan, kalau anakmu belum bayar SPP.”

Bibirku kelu. Hatiku bergetar mendengarnya. Dalam hati aku berkata. “Aku tau, anak-anakku belum bayar SPP.”

Kucoba mengetuk pintu. Berkali-kali sampai akhirnya di buka.

“Mau apa lagi? Istriku melotot hampir-hampir bola mata seperti ingin keluar. Ach, tak seperti biasanya dia seperti ini.

“Ini bonus akhir tahun sudah cair. Mudah-mudahan cukup untuk kebutuhan sebulan ini dan bulan depan. Uang gaji masih aku pegang. Buat jaga-jaga.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

Diambilnya uang pemberian dan tanpa menoleh kembali ia masuk kedalam rumah.

Aku tak peduli. Kuraih jaket lusuh dengan gambar dan lambang organisasi serikatku. Kunyalakan motor skuter matik hasil kredit di pabrik tempatku bekerja dan berlalu menembus rintik hujan yang semakin lebat.

Ach… Apa salahku? Tak biasa-biasanya istriku semarah itu. Kejadian barusan mengusik hatiku.

Aku tahu, aku salah. Hampir tidak pernah ada di rumah. Waktuku habis untuk pabrik dan serikat.

Sebagai buruh pabrik, tentu saja aku bekerja tekun. Bekerja dari pagi hingga sore.

Selain itu, kusempatkan untuk mengurus serikat.

Rapat organisasi. Aksi solidaritas. Bahkan pembelaan hingga PHI pun aku lakoni. Itu semua demi hak-hak kaum buruh. Kaum dimana aku ada di golongan itu. Dan pada akhirnya, demi anak-anak dan istriku juga.

Tapi kenapa hari ini dia begitu marah padaku?

Pikiranku melayang tak tentu arah dan rintik-rintik gerimis berubah menjadi hujan yang sangat deras. Dan dengan terpaksa kutepikan motorku dibawah fly over.

“Sial,” aku memaki dalam hati.

Agak sedikit basah jaket lusuh dan celana PDL dari organisasi sayap barisan buruh terdepan yang kupakai.

Kulepas jaket dan helm yang kupakai dan kugantung begitu saja di kaca spion.
Dan tanpa sengaja. Kulihat sebuah pemandangan yang indah dan menarik disudut mataku. Gadis cantik dengan rambut sebahu. Kerling matanya menggoda.

“Hai… Duduknya di sini aja,” dengan senyum simpul yang manis menggoda. Jari jemari lentiknya seakan melambai.

Aku dihipnotis. Kecantikannya yang seakan-akan melupakan kejadian 1 jam yang lalu.

Entahlah. Setan macam apa yang sedang menggoda hatiku.

“Hujannya deras ya, Bang. Dingin lagi,” dengan senyum nakal si gadis membuka obrolan yang seharusnya tidak terjadi.

“Iya, deras banget. Kamu sendiri?” Tanyaku. Mungkin sekedar basa-basi.

Selang setengah jam kemudian, hujan pun mulai reda. Meskipun masih diiringi rintik-rintik hujan, yang sedari tadi menyaksikan perbincangan yang mengasyikkan.

“Jadi nggak Bang nganterin aku ke kontrakan? Mumpung hujannya udah reda nih.” Aku tak menjawab.

Terlintas omelan istriku sore tadi. Jika mau, ini semacam kesempatan bagiku untuk bermesraan dengan perempuan lain. Dia tak akan tahu. Terlebih lagi, aku pamit untuk rapat serikat. Dan toh sudah biasa aku pulang malam.

“Gimana, bang?”

Aku masih belum menjawab. Sekali lagi, tujuanku keluar rumah adalah untuk menghadiri rapat serikat.

“Oh ya, nama kamu siapa. Aku lupa?” Kualihkan pembicaraan.

“Rahmi, bang. Mikirin siapa sih, kok lupa.”

“Oh ya, Rami. Aku buru-buru. Ditunggu kawan-kawanku. Ini sudah terlambat. Terima kasih sudah menemani ngobrol,” aku segera tancap gas.

Banyak godaan dalam kehidupan ini. Namun demikian, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak terbuai dan abai terhadap cita-cita perjuangan. Pantang mengkhianati kepercayaan dari orang-orang tercinta, yang selama ini mampu membuatku berdiri sekokoh ini.

Penulis: Rinto Dwi Wahana