Aktifis Buruh yang Nyeberang ke Pengusaha dan Berbalik Memusuhi Buruh

Jakarta, KPonline – “Saya tidak mau menjadi advokat. Takut dapat order dari pengusaha untuk melawan buruh.” Dia menyampaikan pernyataan ini kepada saya, ketika saya menanyakan alasannya mengambil notaris.

“Kan uangnya lebih gede kalau mendapatkan kuasa dari pengusaha?” Tanya saya.

“Bukan masalah uang. Tapi ini komitmen saya untuk tidak berkhianat. Bagaimanapun, saya bisa menjadi seperti ini karena kawan-kawan buruh juga.”

Ketika banyak orang memperbincangkan banyaknya aktivis buruh yang berbalik arah memusuhi buruh, saya teringat dengan jawaban seorang teman mengenai alasannya yang tidak mau berprofesi pengacara. Ia justru memilih menjadi notaris. Sebuah profesi yang jauh dari dunia advokasi, sesuatu yang selama ini ia digeluti.

Sebagai advokat, ia bisa saja memilih klien. Misalnya menolak tawaran dari pengusaha melawan buruh. Kendati demikian, ia tidak melakukannya.

Mengapa?

“Saya sudah tidak betah menjadi miskin,” jawabnya. “Di awal-awal kemungkinan saya bisa menolak. Tetapi ketika ada kesempatan, tidak ada jaminan hati saya akan tetap terjaga.”

Karena itu, ia menutup setiap celah untuk mengkhianati perjuangan.

Pertanyannya kemudian, salahkah aktifis buruh yang menyeberang untuk kemudian membela pengusaha untuk melawan buruh? Sebagai sebuah pilihan, tidak ada yang salah. Namun dari sisi moralitas, keputusan tersebut pantas untuk dipertanyakan.

Meminjam kalimat teman saya tadi, kata kuncinya adalah bosan miskin. Karena sudah menjadi rahasia umum, menjadi aktifis garis lurus problemnya adalah sulit secara ekonomi. Ketika seseorang sudah tidak tahan dengan godaan, tidak sedikit akhirnya yang menyeberang. Sosok yang tadinya gigih membela orang-orang kecil, kini justru berkolaborasi dengan para penindas orang-orang yang dulu dibelanya.

Fenomena ini sudah berlangsung lama. Hanya saja, kita jarang sekali melakukan kritik secara terbuka.

Ironisnya, ada yang bermain dua kaki. Membela pengusaha iya, tetapi tidak mau meninggalkan posisinya di barisan kaum buruh. Mereka cenderung menjadikan posisinya di dalam gerakan buruh sebagai batu loncatan. Bahkan tidak jarang melemahkan barisan perlawanan.

Untuk mereka yang menyeberang, kita bisa memahami pilihan yang diambil. Karena posisinya sudah jelas. Memilih berhadap-hadapan. Tetapi bagaimana dengan yang bermain dua kaki? Teman saya mengatakan, mereka yang bermain dua kaki sesungguhnya munafik. Bilang hidup buruh, tetapi berkolaborasi untuk menghancurkan kaum buruh.

Pada titik ini saya bisa mengerti pilihan yang diambil kawan saya untuk menjadi notaris guna menghindari konflik kepentingan.

Insyaflah wahai sang aktivis….