4 Variabel Penentuan Upah Minimum Sektoral Berdasarkan Permenaker 15/2018

Bogor, KPonline – Dalam Permenaker 15/2018 tentang Upah Minimum, terdapat beberapa hal yang menjadi variabel penentuan Upah Minimum Sektoral. Dengan Permenaker ini, penetapan Upah Minimum Sektoral (UMS) harus melalui persetujuan bipartit atau antara pengusaha dan pekerja.

Permenaker ini lebih tegas dari Permenaker 7/2013, dan untuk menentukan industri unggulan, dikuranginya beberapa variabel penentuan Upah Minimum Sektoral. Empat (4) variabel tersebut antara lain kategori usaha sesuai klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) lima (5) digit, perusahaan dengan skala usaha besar, pertumbuhan nilai tambah dan produktivitas tenaga kerja.

Bacaan Lainnya

Sebelumnya, ada tujuh variabel yakni homogenitas perusahaan, jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, devisa yang dihasilkan, nilai tambah yang dihasilkan, kemampuan perusahaan, asosiasi perusahaan, dan serikat pekerja serta serikat buruh terkait. Dengan harus adanya kesepakatan antara unsur buruh dan unsur pengusaha, maka pemerintah tidak bisa menetapkan Upah Minimum Sektoral tanpa adanya kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di sektor industri unggulan.

Permenaker 15/2018 ini merupakan petunjuk pelaksanaan (juklak) dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sebelumnya, penetapan Upah Minimum Sektoral ini selalu menjadi polemik karena dianggap tidak pernah sesuai kesepakatan bipartit. Sebenarnya, regulasi dalam Permenaker 15/2018 tak jauh beda dengan aturan yang ada sebelumnya tentang penentuan Upah Minimum Sektoral. Termasuk, dalam PP 78/2018 tentang Pengupahan yang mensyaratkan penentuan Upah Minimum Sektoral juga harus melalui kesepakatan dua pihak, serikat pekerja dan asosiasi pengusaha.

Dan inilah masalah yang sebenarnya. Dengan tidak kunjung dibentuknya asosiasi sektor usaha oleh kalangan pengusaha, bisa dipahami oleh kalangan pekerja. Pasalnya, jika ada asosiasi sektor usaha maka tuntutan untuk membahas Upah Minimum Sektoral bersama serikat pekerja atau serikat buruh akan semakin mudah.

Pertanyaannya adalah, jika memang bisa dipermudah, kenapa dari unsur pengusaha malah mempersulit keadaan? Dan jawabannya adalah, jika bisa membayar lebih murah, kenapa harus membayar lebih mahal? (RDW)

Pos terkait