Tewas Tertimpa Buah Sawit, Perbaikan Kondisi Buruh Perkebunan Mendesak untuk Dilakukan

Jakarta, KPonline – Okezone.com (20/1/2017) memberitakan nasib tragis yang menimpa buruh sawit PT Antang Ganda Utama (AGU) bernama Kamani. Ia harus meregang nyawa setelah tertimpa tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang dipanennya di Blok 16, Kandau C, Desa Butong, Kecamatan Teweh Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Kamis (19/1/2017).

Diperkirakan berat tandan mencapai 30 kilogram yang jatuh dari ketinggian 8 meter yang menimpa kepala Kamani. Korban tewas di TKP.

Bacaan Lainnya

Buruh perkebunan rentan mengalami kecelakaan kerja seperti ini. Sesuatu yang tidak boleh kita biarkan terus menerus.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) saat ini sedang fokus melakukan advokasi dan mengorganisir buruh-buruh di perkebunan. Buruh perkebunan yang menjadi anggota FSPMI juga terus bertambah. Diantaranya di Aceh, Sumatera Utara, bahkan Kalimantan Selatan.

Dalam kaitan dengan itu, saya kira, penting bagi FSPMI untuk lebih peka terhadap nasib buruh perkebunan. Karena dalam banyak hal, buruh perkebunan memiliki karakteristik yang berbeda dengan buruh industri — basis mayoritas anggota FSPMI saat ini. Saya percaya, FSPMI akan terus belajar sehingga mampu melindungi, memperjuangkan, dan melakukan pembelaan terhadap kaum buruh dan keluarganya. Tidak terkecuali kaum buruh yang bekerja di sektor perkebunan.

Suhib Nuridho ketika menulis Catatan Kondisi Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 2015 di Indonesia mengatakan, cuaca dan jarak tempuh kebun yang akan dikerjakan, menyebabkan buruh mengalami “siksaan” walau belum melakukan kesalahan apapun. Misalnya, karena hujan dan tidak bisa turun ke lahan buruh harus mengganti hari kerjanya dengan hari lain seperti hari libur (Minggu) yang tidak dianggap lembur. Buruh juga terpaksa harus membayar orang lain (kernet) untuk membantunya agar target kerja terpenuhi. Atau ikut mempekerjakan istri atau anak-anaknya tanpa mendapatkan bayaran apapun dari pihak kebun.

“Mana ada kesulitan semacam itu yang dirasakan buruh di sektor industri,” kata Suhib, seperti diterbitkan dalam website Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-usaha Kerakyatan (Oppuk).

Masih menurut menurut Suhib, sangat sulit bagi buruh perkebunan mendapatkan status permanen . Kendati telah mengabdi selama belasan tahun. Mereka tetap diperlakukan sebagai buruh harian lepas atau BHL yang tidak memiliki kepastian ikatan kerja. Situasi keterisoliran mendatangkan kemudahan bagi perusahaan untuk mendapatkan pekerja dari keluarga buruh yakni anak-anak atau istri mereka.  Ada tiga kategori jenis BHL; kontrak permanen (tahunan), kontrak borongan (semi permanen), dan outsourcing. Ketiganya memiliki durasi kerja berbeda setiap harinya. Kesamaannya, sama-sama tidak memperoleh jaminan sosial.

Dengan sistem kerja yang secara mutlak menguntungkan perusahaan, turunannya bermacam kesulitan atau situasi memberatkan lainnya menimpa buruh. Hak-hak normatif buruh tidak dipedulikan.

Diantaranya, tidak dikenal yang namanya upah atau kompensasi lembur. Yang ada adalah premi. Nilainya dihitung dari kelebihan pencapaian target. Bukan kelebihan waktu kerja. Peralatan kerja berupa egrek, angkong, sepatu, helm, sarung tangan, dan sebagainya, perusahaan tidak menyediakan atau melengkapi. Masing-masing buruh yang melengkapi diri sendiri, demi menghindari kecelakaan kerja. Di titik ini buruh seakan-akan pemilik kebun, menyediakan penunjang kerja tetapi hasilnya untuk majikan.

Perumahan yang sudah selayaknya disediakan perusahaan bagi buruh, sangat jauh dari kata layak. Sanitasi yang buruk, listrik yang dibatasi hanya beberapa jam perhari, air yang tidak memenuhi syarat kesehatan, itulah yang diberikan. Rumah tidak lebih hanya merupakan alat kontrol bahwa buruh tidak pergi kemana-mana.

Lahirnya kebijakan atau peraturan pemerintah yang melindungi buruh secara spesifik (terpisah dari UU perburuhan yang banyak berbicara soal buruh di sektor industri), kebebasan berserikat dalam arti sesungguhnya, status ikatan kerja yang pasti, hak-hak normatif yang terlindungi, fasilitas perumahan yang layak dan manusiawi, peralatan pendukung kerja yang disediakan perusahaan, serta Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat secara bersama-sama antara buruh dengan perusahaan.

Sumber: okezone.com dan oppuk.or.id

Pos terkait