Menko Darmin Sebut Kelapa Sawit Berkah Bagi Ekonomi RI, FSPMI: Jangan Lupakan Nasib Buruhnya

Jakarta, KPonline – Kelapa Sawit menjadi komoditas andalan bagi Indonesia, hal ini terbukti dari produk-produk turunan kelapa sawit yang memberikan kontribusi ekspor sebesar 75% dari sektor non migas. Seperti diberitakan sindonews.com, Kamis (2/2/2017), Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, komoditas kelapa sawit menjadi penting bagi perekonomian. Oleh karena itu, pemerintah fokus mendorong kemajuan industri kelapa sawit nasional.

“Kita menyadari bahwa kelapa sawit adalah suatu berkah bagi Indonesia. Dari 8 komoditas perkebunan, kelapa sawit menjadi andalan dan kebanggaan kita. Oleh karena itu, kita mencoba memperhatikan dan mempelajari faktor apa saja kekurangan yang ada di perkebunan kelapa sawit yang tidak ada di perkebunan lain,” ujar dia pada Pertemuan Nasional Sawit Indonesia 2017 di Jakarta, Selasa (2/2/2017).

Bacaan Lainnya

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit Bayu Krisnamurthi mengatakan, kinerja ekspor sawit mencatatkan pertumbuhan yang signifikan. Pada tahun 2016, ekspor sawit tercatat USD17,8 miliar, naik dibandingkan tahun 2015 sebesar USD16,5 miliar. “Kontribusi sawit mencapai 12,3% terhadap pendapatan negara,” ungkapnya.

Bayu melanjutkan, tahun 2016 ekspor Indonesia dari produk hilir sawit sebesar 76,4% dari total ekspor. Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat nilai ekspor sawit berkontribusi cukup besar pada tahun 2016. Salah satunya pada konferensi sawit di Kuala Lumpur, Bali dan Pakistan yang digelar tahun lalu. Dalam pertemuan tersebut semua negara sepakat kenaikan harga sawit karena adanya kebijakan oleh Indonesia.

“Saya selalu mengingatkan kepada semua produsen agar jangan terlena dengan kenaikan harga sawit karena yang harus dijaga adalah daya saing produk sawit. Selisih harga sawit dengan harga-harga minyak nabati lain harus terjaga cukup kompetitif,” paparnya.

Menanggapai hal itu, aktivis Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Anton, mengingatkan agar jangan melupakan nasib buruh-buruh yang bekerja di perkebunan sawit.

“Jangan sampai berkah ekonomi itu tidak dirasakan oleh buruh yang bekerja di sektor sawit,” tegasnya.

Sebagaimana diberitakan KPonline dalam judul Tewas Tertimpa Buah Sawit, Perbaikan Kondisi Buruh Perkebunan Mendesak untuk Dilakukan, tergambar jika buruh perkebunan sawit belum mendapatkan perlindungan yang memadai.

Suhib Nuridho ketika menulis Catatan Kondisi Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 2015 di Indonesia mengatakan, cuaca dan jarak tempuh kebun yang akan dikerjakan, menyebabkan buruh mengalami “siksaan” walau belum melakukan kesalahan apapun. Misalnya, karena hujan dan tidak bisa turun ke lahan buruh harus mengganti hari kerjanya dengan hari lain seperti hari libur (Minggu) yang tidak dianggap lembur. Buruh juga terpaksa harus membayar orang lain (kernet) untuk membantunya agar target kerja terpenuhi. Atau ikut mempekerjakan istri atau anak-anaknya tanpa mendapatkan bayaran apapun dari pihak kebun.

“Mana ada kesulitan semacam itu yang dirasakan buruh di sektor industri,” kata Suhib, seperti diterbitkan dalam website Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-usaha Kerakyatan (Oppuk).

Masih menurut menurut Suhib, sangat sulit bagi buruh perkebunan mendapatkan status permanen . Kendati telah mengabdi selama belasan tahun. Mereka tetap diperlakukan sebagai buruh harian lepas atau BHL yang tidak memiliki kepastian ikatan kerja. Situasi keterisoliran mendatangkan kemudahan bagi perusahaan untuk mendapatkan pekerja dari keluarga buruh yakni anak-anak atau istri mereka. Ada tiga kategori jenis BHL; kontrak permanen (tahunan), kontrak borongan (semi permanen), dan outsourcing. Ketiganya memiliki durasi kerja berbeda setiap harinya. Kesamaannya, sama-sama tidak memperoleh jaminan sosial.

Dengan sistem kerja yang secara mutlak menguntungkan perusahaan, turunannya bermacam kesulitan atau situasi memberatkan lainnya menimpa buruh. Hak-hak normatif buruh tidak dipedulikan.

Diantaranya, tidak dikenal yang namanya upah atau kompensasi lembur. Yang ada adalah premi. Nilainya dihitung dari kelebihan pencapaian target. Bukan kelebihan waktu kerja. Peralatan kerja berupa egrek, angkong, sepatu, helm, sarung tangan, dan sebagainya, perusahaan tidak menyediakan atau melengkapi. Masing-masing buruh yang melengkapi diri sendiri, demi menghindari kecelakaan kerja. Di titik ini buruh seakan-akan pemilik kebun, menyediakan penunjang kerja tetapi hasilnya untuk majikan.

Perumahan yang sudah selayaknya disediakan perusahaan bagi buruh, sangat jauh dari kata layak. Sanitasi yang buruk, listrik yang dibatasi hanya beberapa jam perhari, air yang tidak memenuhi syarat kesehatan, itulah yang diberikan. Rumah tidak lebih hanya merupakan alat kontrol bahwa buruh tidak pergi kemana-mana.

Lahirnya kebijakan atau peraturan pemerintah yang melindungi buruh secara spesifik (terpisah dari UU perburuhan yang banyak berbicara soal buruh di sektor industri), kebebasan berserikat dalam arti sesungguhnya, status ikatan kerja yang pasti, hak-hak normatif yang terlindungi, fasilitas perumahan yang layak dan manusiawi, peralatan pendukung kerja yang disediakan perusahaan, serta Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat secara bersama-sama antara buruh dengan perusahaan.

Pos terkait