Tahun 2050 Kekuatan Ekonomi Indonesia Diprediksi Nomor 4 Dunia

Jakarta, KPonline – Pricewaterhouse Coopers (PwC), lembaga konsultasi ekonomi internasional merilis laporan proyeksi pertumbuhan global jangka panjang hingga 2050 untuk 32 ekonomi terbesar di dunia, yang setara 85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.

Kepala Ekonom PwC John Hawksworth menyatakan, ekonomi dunia bisa tumbuh lebih dari dua kali lipat hingga 2050, jauh melampaui pertumbuhan penduduk. Hal itu karena peningkatan produktivitas yang didukung oleh teknologi.

Proyeksi tersebut diukur dari rasio PDB pada tingkat daya beli yang disesuaikan di perbedaan tingkat harga berbagai negara. Ukuran tersebut dinilai memberikan patokan yang lebih baik dari sisi volume barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian.

“Secara rata-rata, pasar negara berkembang (E7) bisa tumbuh sekitar dua kali lebih cepat negara maju (G7). Akibatnya, enam dari tujuh ekonomi terbesar dunia di tahun 2050 diproyeksikan berasal dari negara berkembang yang dipimpin oleh China di puncak, India nomor dua dan Indonesia nomor empat,” jelasnya dalam riset, dikutip Kamis (9/2).

Hal itu akan menyebabkan ekonomi Amerika Serikat (AS) turun ke tempat ketiga dalam peringkat GDP global. Sementara, kontribusi 27 negara terbesar di Eropa terhadap PDB dunia bisa jatuh di bawah 10 persen pada tahun 2050.

Tak hanya itu, ekonomi Inggris dilaporkan bisa turun ke posisi 10 pada tahun 2050, sementara Perancis keluar dari 10 besar, dan Italia keluar dari 20 besar. Negara-negara tersebut akan disalip oleh negara-negara berkembang yang tumbuh lebih cepat seperti Meksiko, Turki dan Vietnam

Saat ini, PwC mencatat ekonomi Indonesia masih bertengger di posisi delapan dari seluruh dunia. Sementara pada tahun 2030, ekonomi Indonesia diprediksi mampu merangsek naik ke posisi kelima.

“Tapi negara-negara berkembang perlu meningkatkan lembaga keuangan dan infrastruktur mereka secara signifikan jika mereka menyadari potensi pertumbuhan jangka panjang,” ungkap Hawksworth.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, berdasarkan harga berlaku, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita tahun 2016 sebesar Rp47,96 juta atau setara dengan US$3.605,49. Angka ini naik 6,2 persen dari tahun lalu, Rp45,14 juta.

Dengan demikian, selama lebih dari 29 tahun, Indonesia mandek di kelompok negara kelas menengah ke bawah. Padahal, sebelumnya Bank Indonesia (BI) pernah menyatakan jika Indonesia tidak ingin terjebak selamanya dalam kelompok tersebut, maka PDB per kapita Indonesia harus lebih dari US$12 ribu per tahun pada 2030 mendatang.

Melihat hal itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menilai pemerintah perlu mendorong seluruh sektor industri agar nilai tambah perekonomian bergerak positif. Terutama sektor yang banyak menyerap tenaga kerja dan kontribusinya besar terhadap perekonomian.

“Kalau saya berharap untuk sektor-sektor yang kontribusinya terhadap perekonomian besar, seperti pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor konstruksi,” tutur Suhariyanto saat ditemui di kantornya, Senin (6/2)

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak boleh besar kepala dengan ramalan tersebut, karena masih banyak hal yang harus dibenahi.

Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bergantung pada konsumsi rumah tangga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga mengambil peran 56,5 persen dari seluruh perekonomian Indonesia di tahun lalu.

Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengatakan, sumbangan konsumsi rumah tangga di beberapa tahun ke depan masih akan besar kontribusinya. Pasalnya, jumlah penduduk Indonesia yang kian tinggi akan mengerek konsumsi rumah tangga.

Kedua, investasi. Enny melihat, sentimen dan iklim investasi masih menjadi penentu deras atau tidaknya aliran investasi ke Tanah Air. Adapun saat ini, keriuhan politik dalam negeri saat ini, yang ditandai dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memberi pengaruh negatif pada investasi. Catatan terakhir dari BPS, pertumbuhan investasi seret dikisaran 4,48 persen dari sebelumnya 5,01 persen di 2015.

Ketiga, pengeluaran pemerintah. BPS mencatat, konsumsi pemerintah justru negatif 0,15 persen di tahun lalu dan hanya menyumbang 9,45 persen ke perekonomian. Padahal, konsumsi pemerintah seharusnya mampu menjadi stimulus pertumbuhan.
Konsumsi pemerintah yang merosot, tidak lain dan tidak bukan karena pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hal tersebut terpaksa dilakukannya karena mengendus rendahnya potensi penerimaan negara.