Saksi Ahli dari UI Tegaskan Dakwaan Terhadap 26 Aktivis Ngawur dan Salah

Jakarta, KPonline – Dalam keterangannya sebagai ahli hukum dari Universitas Indonesia Sony Maulana Sikumbang menjelaskan dengan rinci, bahwa pasal 216 ayat (1) dan Pasal 218 KUHP tidak tepat diterapkan terhadap 26 aktivis, yang terdiri dari 23 buruh, 2 pekerja bantuan hukum LBH Jakarta, dan 1 mahasiswa. Keterangan ini disampaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (18/10).

Redaksi Pasal 216 ayat (1) KUHP yang dijadikan dasar untuk melakukan dakwaan terhadap Para Terdakwa adalah sebagai berikut: Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberikan kuasa untuk mengusut atau memeriksa Tindak Pidana. Demikian pula, barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan Undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut. Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua mingguatau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Bacaan Lainnya

“Pasal 216 menekankan mengenai ancaman pidana bagi seseorang yang tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-undang. Dengan kata lain, jika perintah atau permintaan tersebut tidak didasarkan atau tidak guna menjalankan Undang-undang, maka sesungguhnya tindakan tersebut tidak bisa dikenakan Pasal 216,” terang Sony.

Sebagaimana diketahui, dasar perintah atau permintaan pihak Kepolisian saat melakukan pembubaran aksi unjuk rasa buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 di depan Istana Negara adalah Peraturan Kapolri (Perkap) No 7 Tahun 2012. Saat itu, buruh melakukan unjuk rasa melewati pukul 18.00 wib. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1), pihak kepolisian melakukan pembubaran.

Adapun redaksi Pasal 7 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan, pada tempat dan waktu sebagai berikut: a. di tempat terbuka antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00, waktu setempat; dan b. di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00, waktu setempat.” 

Sony menegaskan, Perkap bukanlah Undang-undang. Sebab, yang dimaksud Undang-undang adalah peraturan yang dibentuk oleh Presiden dan DPR. Sementara Perkap hanya dibentuk oleh Kepala Kepolisian. Jadi tingkatannya pun jauh dibawah Undang-undang. Oleh karena tindakan pembubaran didasarkan pada Perkap, bukan pada Undang-undang, maka secara formal Pasal 216 ayat (1) KUHP tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk mempidana 26 aktivis .

Dikkarenakan apa yang dilakukan ke-26 aktivis adalah terkait unjuk rasa, maka kata ‘Undang-undang’ yang dimaksud seharusnya adalah Undang-undang No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum (UU 9/1998). Masalahnya, apakah dalam UU 9/1998 ada larangan untuk melakukan unjuk rasa di malam hari?

Sony menjelaskan, dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU 9/1998 ada disebutkan, “Koordinasi antara Polri dengan penanggungjawab dirnaksudkan untuk rnernpertirnbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu terlaksananya penyarnpaian pendapat di muka umum secara aman tertib, dan darnai, terutarna penyelenggaraan pada malam hari.

Bagian penjelasan adalah bagian tafsir resmi dari pasal yang terdapat dalam batang tubuh. Dikarena dalam pasalnya sendiri tidak dibatasi mengenai jam pelaksanaan unjuk rasa, maka dapat dikatakan, unjuk rasa di malam hari pun diperbolehkan. Hal ini diperkuat dengan adanya frasa dalam kalimat, “… terutama pelenyelenggaraan unjuk rasa pada malam hari.”

Sementara itu, terkait dengan Pasal 218 KUHP yang diguakan sebagai dasar untuk mempidana 26 aktivis, menurut Sony ini cacat materiil. Pasal 218 memiliki redaksi sebagai berikut: “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Sony menegaskan, para pengunjukrasa bukanlah kerumunan. Karena ia bukan kerumunan, tidak dapat dikenakan Pasal 218 KUHP.

“Pengertian kerumunan adalah perkumpulan yang tidak teratur, tidak ada teroganisasikan, dalam bentuknya, jumlahnya, ketiadaaan hubungan orang yang saling mengenal,” ujarnya. “Dalam bahasa Inggris disebut Crowd.”

Sementara, buruh yang menolak PP Pengupahan memenuhi kriteria sebagai peserta unjuk rasa yang sah sebagaimana diatur UU 9/1998. Ada pemberitahuan resmi ke kepolisian. Tujuannya jelas. Siapa pemimpinnya jelas. Dengan demikian, pengunjuk rasa sama sekali bukanlah kerumunan.

Pertanyaannya kemudian. Kalau Undang-undang memperbolehkan unjuk rasa di malam hari, sementara polisi justru melakukan pembubaran dengan alasan karena sudah melebihi pukul 18.00, apakah berarti pihak kepolisian melanggar Undang-undang? Jika pengunjuk rasa bukanlah kerumunan, kemudian Polisi memaksakan untuk membubarkan, apakah berarti pihak kepolisian melanggar Undang-undang? Jika melanggar, maka seharusnya yang saat ini duduk di kursi pesakitan sebagai terdawa adalah polisi dan bukan kawan-kawan buruh?

Sony juga ditanya oleh kuasa hukum Terdakwa. “Dalam Pasal 18 ayat (1) UU 9/1998 disebut, barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Menurut ahli, apakah pihak kepolisian yang seharusnya saat ini dihadapkan di persidangan ini? Bukan buruh?”

Sony tersenyum, sebelum kemudian menjawab, “Seharusnya anda menanyakan ini kepada Jaksa Penuntut Umum.”

Apapun itu, keterangan Sony Maulan Sikumbang semakin menguatkan dugaan kita bahwa persidangan ini penuh dengan rekayasa. (*)

 

 

Pos terkait