Harga Cabai Naik, Siapa Untung Siapa Buntung

Jakarta, KPonline – Ketika harga cabai naik gila-gilaan, ada yang menyebut ini sebuah keuntungan bagi petani. Jangan hanya 100 ribu. Kalau perlu, sekilo harganya 500 ribu. Bahkan 1 juta.

Mereka beranggapan, ketika harga tinggi, petani diuntungkan. Kapan lagi petani mendapatkan harga terbaik?

Bacaan Lainnya

Kemudian dia menarik kesimpulan, ngapain demo soal kenaikan harga? Toh dalam waktu yang tidak terlalu lama, harga cabai akan kembali normal.

Saya tidak menyanggah, ketika harga tinggi, petani akan diuntungkan. Tetapi harus dicatat, harga tinggi karena apa? Jika harga cabai tinggi seperti saat ini, hanya karena barangnya di pasaran sedang langka karena banyak yang mengalami gagal panen akibat cuaca, tentu lain masalahnya.

Di Jember, misalnya. Meskipun harga jual cabai melambung tinggi, tetapi petani cabai di sana mengaku masih merugi. Sebab, banyak areal yang gagal panen akibat hujan yang terus mengguyur. Hujan menimbulkan pembusukan buah atau istilah lokal disebut pathek.

Imam Suyuti, seperti dikutip okezone.com (23/11/2016) mengatakan, rata-rata terjadi penurunan produksi 50% hingga 85% setiap satu hektare lahan. Ia menyebutkan, pada kondisi normal, setiap hektare lahan cabai merah besar dapat menghasilkan antara 1-3 ton cabai. Namun, sekarang rata-rata hanya bisa panen sekitar 500 kilogram. Bahkan, ada wilayah yang cuma bisa panen 75 kilogram cabai akibat banyak yang terserang pathek . Berdasarkan kalkulasi, biaya produksi yang dikeluarkan petani cabai merah besar antara Rp 70 juta hingga Rp 100 juta per hektare. Sementara untuk cabai rawit sekitar Rp 50 juta per hektare. Mereka gagal panen.

“Sementara pendapatan petani di bawah BEP (break event point ) itu. Jadi, petani saat ini masih mengalami kerugian. Kami memprediksi musim tanam mendatang akan banyak petani cabai yang beralih komoditas tanam,” tuturnya. Faktornya, yakni beban utang petani yang belum bisa terlunasi pada musim tanam tahun ini. Di sisi lain, petani masih memerlukan biaya untuk musim tanam mendatang.

Jadi siapa bilang petani untung? Buntung juga ia.

“Harga tinggi saja rugi, apalagi dibeli dengan harga murah?” Pasti ini argumentasi berikutnya.

Tentu saja, sebagai konsumen, tidak bijak jika hanya mau untung sendiri. Tuntutan kita kepada pemerintah pada hakekatnya adalah bagian dari upaya untuk menuntut tanggungjawab negara. Kita minta pemerintah mengendalikan harga. Menurunkan harga jika terlalu tinggi, menaikkan harga jika di pasaran terlalu murah sehingga petani merugi. Tanggungjawab negara untuk menstabilkan harga, agar tidak terjadi gejolak di masyarakat.

Lalu siapa yang untung dengan kenaikan harga capai? Pernyataan Kepala Dinas Koperasi, Perdagangan, dan KUKM Kabupaten Sukabumi, Asep Japar, barangkali bisa menjawab pertanyaan ini. Menurutnya, tingginya harga cabai disebabkan rantai perdagangan atau tata niaga yang panjang.

“Harga di tingkat konsumen terakhir atau pasar jauh lebih mahal dibanding dari petani. Sebab, alur distribusinya panjang karena dari petani tidak langsung ke pasar, tapi dikuasai dulu oleh pengepul, distributor, bahkan spekulan pun ikut bermain,” katanya.

Selain itu, kebutuhan cabai yang tinggi di masyarakat, sering dimanfaatkan para spekulan yang biasanya memainkan harga di tingkat pasar. Bahkan, Asep menduga, ada yang berani menyendat alur distribusi yang berimbas harga di tingkat konsumen terakhir, masyarakat, semakin tinggi.

Alur distribusi yang panjang membuat keberadaan spekulan sulit terungkap dan pemerintah pun sulit membongkar kasus mafia harga kebutuhan masyarakat. Walaupun demikian, pemerintah selalu berupaya memberantas para spekulan yang berlaku curang ini.

Maka apa yang salah jika mahasiswa dan buruh berniat melakukan aksi terkait kenaikan harga? Tentu saja tidak ada yang salah. Toh aksi ini semacam cara untuk mengingatkan pemerintah agar lebih jenius dalam memikirkan solusi.

Empat Indikator Pemerintah Gagal Mengatasi Masalah Keuangan Negara

Lebih dari itu, pemikiran pengamat dari Pusat Kajian Ekonomi Universitas Bung Karno Salamuddin Daeng terkait dengan kegagalan Presiden Jokowi dan Menkeu Mulyani mengatasi masalah keuangan negara menarik untuk kita simak. Menurut Salamuddin, ada tiga hal yang bisa dilihat.

Pertama, pemerintah Jokowi bisanya hanya memeras rakyat dengan kebijakan menaikkan harga-harga, sewa, bunga dan pajak.

“Rakyat sedang susah karena pemerintah gagal mengatasi masalah makro ekonomi seperti inflasi, pengangguran, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain. Lha kok malah diperas dengan kebijakan menaikkan harga, sewa, pajak, ini penindasan yang lebih lengkap dari kolonial,” paparnya.

Kedua, Pemerintah Jokowi hanya bisa menumpuk utang dalam mencari sumber keuangan dari luar negeri. Dalam 2 tahun ini, utang pemerintah bertambah sekitar Rp 1.000 triliun. Jauh lebih miris dibandingkan era sebelum Jokowi.

Ketiga, hingga hari ini, Menkeu Mulyani belum mengumumkan tambahan penerimaan negara dari tax amnesty. Bisa jadi, penerimaan negara tidak bertambah secara signifikan.

“Tax amnesti hasilnya nol besar. Program ini hanyalah mengampuni konglomerat dan taipan pengemplang pajak. Mengampuni para kriminal, melegalisasi uang haram mereka dan membebaskan mereka dari pajak,” papar Salamuddin.

Keempat, kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok, menunjukkan kualitas para pembantu Presiden Joko Widodo perlu dievaluasi. Celakanya, rakyat saat ini bak pepatah sudah jatuh tertimpa tangga. (*)

Pos terkait