Dibalik hiruk-pikuk pembangunan dan geliat ekonomi yang terus digaungkan pemerintah dan pelaku industri, ada potret buram yang terus berulang, dimana pekerja yang terus hidup dalam lingkaran ketidakpastian. Dengan satu prinsip sederhana “yang penting kerja,” banyak buruh di Indonesia terperangkap dalam sistem kerja kontrak berkepanjangan dengan upah seadanya, sebuah kondisi yang ironisnya justru menguntungkan pengusaha dan merugikan pekerja itu sendiri.
Pekerjaan seharusnya menjadi sarana menuju kesejahteraan, namun bagi sebagian besar tenaga kerja di sektor informal dan bahkan formal sekalipun, pekerjaan justru menjadi bentuk perbudakan modern yang terselubung. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, dengan status sebagai “pekerja kontrak” yang diperpanjang terus-menerus tanpa jaminan menjadi pegawai tetap. Tak ada kepastian, tak ada kenaikan upah yang layak, tak ada jaminan sosial yang memadai. Namun mereka bertahan. Kenapa? Karena menurut mereka, “yang penting ada kerja.”
Fenomena ini bukan hanya isapan jempol belaka. Dari berbagai sumber yang dihimpun, lebih dari 60% pekerja di sektor industri dan jasa non-pemerintah masih berada dalam sistem kontrak atau outsourcing, bahkan setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan yang sama. Sementara itu, banyak pengusaha justru memanfaatkan celah ini untuk menghindari kewajiban memberikan hak-hak normatif buruh, seperti pesangon, tunjangan tetap, dan jaminan masa depan.
Tentunya, praktik ini melanggar prinsip keadilan kerja dan bertentangan dengan semangat Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pengusaha berlindung di balik dalih efisiensi, padahal praktik ini adalah bentuk eksploitasi yang dilegalkan oleh sistem.
Salah satu pekerja yang kami temui, sebut saja Imas (32), telah bekerja sebagai operator mesin di sebuah pabrik textile di Purwakarta selama lebih dari tujuh tahun. Namun statusnya tidak pernah berubah dari “kontrak.” Ia menerima gaji tak lebih dari UMK (upah minimum kabupaten) setempat, tanpa tunjangan, tanpa jaminan hari tua. Ketika ditanya mengapa tetap bertahan, ia menjawab lirih, “Daripada nganggur. Yang penting kerja, Mas…”
Mentalitas “yang penting kerja” ini, meskipun terlihat realistis, justru membuat sistem ketenagakerjaan Indonesia tidak bergerak ke arah yang lebih adil. Ia menumpulkan keberanian kolektif untuk menuntut hak. Ketika para pekerja tidak bersatu untuk menyuarakan tuntutan, maka sistem yang timpang akan terus dilanggengkan oleh mereka yang berkepentingan.
Pertanyaannya, Apakah pekerja tidak tahu bahwa kontrak yang terus-menerus diperpanjang tanpa perubahan status adalah pelanggaran terhadap hak normatif. Apakah mereka juga kurang percaya diri untuk berserikat atau melapor ke lembaga perlindungan tenaga kerja.
Dalam jangka panjang, sistem ini tidak hanya merugikan buruh, tapi juga merugikan negara. Buruh yang tidak sejahtera tidak akan mampu berkontribusi pada produktivitas nasional secara optimal. Mereka hidup dalam ketakutan, dalam ketidakpastian, dan dalam siklus kemiskinan yang tak berujung.
Apa yang bisa dilakukan? Perlu ada kesadaran kolektif tentunya. Baik dari pekerja, serikat buruh, maupun pemerintah, untuk memperkuat pengawasan terhadap praktik kerja kontrak berkepanjangan. Pendidikan hukum ketenagakerjaan perlu diperluas. Yang paling penting, narasi “yang penting kerja” harus mulai dikritisi dan diganti dengan semangat baru yaitu “Yang penting kerja layak”.
Jika tidak, maka kita hanya akan terus menonton generasi demi generasi pekerja hidup sebagai budak modern, terjebak dalam sistem yang mereka anggap sebagai satu-satunya jalan hidup.