Upah Murah, Gambaran Kekikiran Pengusaha

Purwakarta, KPonline – Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para pengusaha atau pihak yang mempekerjakan.

Pekerja atau buruh dan upahnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya selalu menjadi tema menarik untuk dikaji. Bahkan, demonstrasi buruh pun juga lebih banyak menyangkut tuntutan kenaikan upah.

Bacaan Lainnya

Sehingga, karena sebegitu pentingnya masalah upah pekerja, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) berpedoman bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup Kesejahteraan, dimana upah itu layak dan mencukupi.

Kemudian, dapat dikatakan bahwa FSPMI tidak bisa mentolerir hadirnya kekikiran pengusaha yang tidak memperhatikan para pekerja melalui upah murah.

Riden Hatam Aziz sebagai Presiden FSPMI percaya, jika upah semakin baik, maka daya beli masyarakat juga akan membaik. Ketika masyarakat memiliki daya beli, maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang baik.

Lebih lanjut Riden Hatam Azis menyampaikan, lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibuslaw) yang kemudian menghapus UMSK/UMSP justru membuat Indonesia kembali pada rezim murah, yang memicu negara kita masuk pendapatan menengah bawah.

Sebelumnya, Pemerintah juga menerbitkan PP No 78 Tahun 2015 yang mengatur kenaikan upah tidak lagi berdasar pada kebutuhan hidup layak. Itulah yang semakin menurunkan daya beli masyarakat, yang dampaknya terasa sekarang.

Senada dengan hal yang sama, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan sekaligus Dewan Majelis Nasional FSPMI menuntut kenaikan upah minimum 2023 sebesar 13%.

Lebih lengkapnya, Ia meminta kepada pemerintah menetapkan kenaikan upah 2023 untuk tidak menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Dimana, kata Said Iqbal bahwa dalam peraturan tersebut mengacu pada Omnibus Law Undang-Undang Cipta kerja yang sudah dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat dan cacat formil.

Oleh sebab itu, menurutnya tidaklah tepat apabila pemerintah masih menggunakan PP tersebut dalam menentukan upah minimum 2023 yang akan diumumkan pada 1 November mendatang. Apalagi, lanjut Said, kalau menggunakan batas atas dan batas bawah PP tersebut, pasti upah tidak akan naik, kalaupun naik hanya 1-2%.

Sedangkan menurut pengamatan Said yang kebetulan juga sebagai Presiden Partai Buruh, ia mendapatkan informasi dari Litbang Partai Buruh bahwa inflasi turunan dari tiga sektor yang dikonsumsi rakyat mengalami kenaikan lebih dari inflasi umum yang berada di 6,5%. Oleh karena itu, angka kenaikan upah yang berpotensi hanya 1-2% tentu tidak sepadan.

Pos terkait