Upah Buruh, Kesenjangan, dan Kemiskinan di Yogyakarta

Teatrikal. Cara kreatif untuk menyampaikan pesan. (Foto: Herveen)

Jakarta, KPonline – Senin, 31 Oktober 2016, ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) menggelar aksi Tapa Pepe di depan Kraton Yogyakarta. Mereka mengadukan kebijakan upah murah yang selama ini dilakukan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada raja Yogyakarta yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur.

Dalam aksinya, massa aksi memohon kepada raja agar tidak menggunakan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 (PP 78/2015) dalam penentuan Upah Minimum di DIY. Sebab, jika menggunakan PP 78/2015, kenaikan upah hanya sebatas 8.25%. Sedangkan, ABY berpendapat jika penentuan upah didasarkan survei Kebutuhan Hidup layak (KHL), maka kenaikan upah di Yogyakarta senilai rata-rata Rp. 650.000.

Bacaan Lainnya

Pada hari yang sama, Gubernur DIY menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2017. Adapun perinciannya sebagai berikut: UMP DIY sebesar Rp. 1.337.645,25, Kota Yogyakarta Rp. 1.572.000 (kenaikan Rp. 119.800), Sleman Rp. 1.448.385 (kenaikan Rp. 110.385), Bantul Rp. 1.404.760 (kenaikan Rp. 107.060), Kulonprogo Rp. 1.373.600 (kenaikan Rp. 104.370), dan Gunungkidul Rp. 1.337.650 (kenaikan Rp. 101.950). Dengan demikian, Gubernur DIY yang sekaligus Raja Kraton tidak mengindahkan tuntutan buruh yang menggelar aksi Tapa Pepe, karena kenaikan upah tetap berdasarkan pada PP 78/2015.

Padahal, jika Raja sekaligus Gubernur ada niatan baik untuk meningkatkan upah minimum diatas 8.25%, hal tersebut sangat mungkin terjadi. Pasalnya, menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) Pasal 88 dan Pasal 89 menyatakan bahwa penetapan upah minimum berdasarkaan KHL dan Gubernur memiliki wewenang untuk menetapkan dengan dasar rekomendasi Dewan Pengupahan. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2012 juga menyatakan bahwa penetapan upah harus berdasarkan suvei KHL sejumlah 60 item. Artinya, Gubernur DIY bisa saja menaikan upah minimum dengan tidak menggunakan PP 78/2015. Disini dapat dilihat dimana keberpihakan Gubernur DIY jika dihadapkan pada pilihan, memihak kaum buruh atau pengusaha.

Lain halnya dengan Aceh, yang sama-sama menyandang status Daerah Istimewa dengan Yogyakarta, dimana Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, berani menetapkan upah minimum dengan tidak menggunakan formula PP 78/2015. UMP Aceh tahun 2017 ditetapkan meningkat 20% berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh nomor 72 tahun 2016 tentang Penetapan UMP Aceh yang sesuai dengan UU 13/2003. UMP Aceh tahun 2017 naik menjadi Rp. 2.500.000 dari Rp. 2.118.500 di tahun 2016. Sayangnya, keberanian dan keberpihakan tersebut tidak dmiliki oleh Sang Raja, Gubernur DIY.

Ketimpangan dan Kemiskinan

Dibalik predikat Daerah Istimewa sekaligus regional pariwisata terkemuka yang selalu menggembar-gemborkan slogan-slogan kebudayaannya, kenyataannya DIY menyimpan kemiskinan dan ketimpagan yang serius.

Sebelum penetapan Undang-Undang Keistimewaan tahun 2012, pada tahun 2011 Gini Ratio DIY berada pada angka 0.40. Namun, seiring berjalannya waktu, ketimpangan pengeluaran antara si kaya dan si miskin justru kian memburuk. Hal tersebut nampak pada Gini Ratio tahun 2012 meningkat di angka 0.43, tahun 2013 di angka 0.44, dan di tahun 2014 dan 2016 ada di angka 0.42. Hal ini jauh lebih buruk pada masa pasca krisis moneter, di tahun 1999 saja, Gini Ratio DIY hanya di angka 0.34 (BPS). Sebagaimana diketahui, bahwa Gini Ratio merupakan ukuran untuk mengukur ketidakmerataan atau ketimpangan agregat. Dari data tersebut, nampak nyata bahwa DIY mengalami kesenjangan kesejahteraan yang sangat dalam. Selain Gini Ratio, Indeks Keparahan Kemiskinan DIY juga terus meningkat. Indeks Keparahan Kemiskinan  DIY (perkotaan + pedesaan) tahun 2013 di angka 0.46 (S II), tahun 2014 di angka 0.61 (S II), dan di tahun 2015 di angka 0.63 (S II) (BPS).

Angka Gini Ratio dan Indeks Keparahan Kemiskinan tersebut semakin jelas jika dilihat pada jumlah angka kemiskinan yang ada. Di DIY, pada tahun 2013 jumlah penduduk miskin sebanyak 535.18 ribu jiwa, naik di tahun 2014 menjadi 544.87 ribu jiwa, dan di tahun 2015 menjadi 550.23 ribu jiwa (BPS).

Selain investasi, kesenjangan, parahnya kemiskinan, dan rendahnya upah buruh juga berdampak pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY. Rendahnya upah buruh berkontribusi terhadap menurunnya daya beli masyarakat yang berkorelasi juga dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana tercatat, PDRB 2016 QI menurut pengeluaran DIY berada di angka 5.04%, turun dibanding 6 bulan sebelumnya pada PDRB 2015 QIII di angka 5.50%. (BPS) Hal ini menggambarkan bahwa terjadi penurunan daya beli masyarakat DIY sebesar 0.46% hanya dalam waktu 6 bulan. Penurunan daya beli tersebut pastinya disebabkan harga kebutuhan barang-arang yang terus naik sedangkan pendapatan tetap atau mengalami penurunan atas harga barang (depresiasi).

Penurunan daya beli masyarakat DIY tersebut mutlak korelatif dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana data BPS menunjukan bahwa laju pertumbuhan PDRB DIY terus mengalami penurunan. Pada tahun 2013 PDRB DIY di angka 5.47%, lalu di tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 5.16%, dan di tahun 2015 semakin anjlok di angka 4.94% (BPS).

Rekomendasi

Solusi perbaikan ekonomi DIY adalah menaikkan daya beli masyarakatnya, salah satunya adalah menaikan upah buruh. Jika dibandingkan dengan ibukota provinsi lain, upah minimum di DIY tahun 2017 terbilang sangat murah, bahkan dibanding upah minimum ibukota provinsi lain pada tahun 2016. Pada tahun 2016, UMK di Kota Semarang Rp. 1.909.000, Surabaya Rp. 3.045.000, Kota Bandung Rp. 2.626.940, Kota Tangerang Rp. 3.043.950, dan DKI Rp. 3.100.000. Tentu saja upah minimum di kota-kota tersebut pada tahun 2017 angkanya mengalami peningkatan. Sedangkan di DIY, UMK Kota Yogyakarta tahun 2017 sebesar Rp. 1.572.000, masih kecil dibanding UMK kota-kota lain di tahun 2016, lebih-lebih dibandingkan dengan UMK kota-kota lain tahun 2017.

Masifnya industrialisasi dan meningkatnya serapan tenaga kerja di DIY adalah kesempatan untuk meningkatkan ekonomi dengan mendorong daya beli melalui menaikan upah buruh (mengingat konsumsi rumah tangga membentuk 55.92% PDB 2015). Jangan sampai ekstentifikasi dan intensifikasi produksi di DIY tidak berimbang pada permintaan masyarakat DIY, atau hanya dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung ke DIY. Buruh DIY (termasuk buruh tani) harus diberi penghargaan dengan upah yang layak, karena mereka adalah aktor utama dalam pembangunan DIY, bukan Gubernur atau Raja.

Jika Gubernur DIY tidak berani menaikkan upah minimum buruh senilai Rp. 650.000. Maka Gubernur DIY perlu mengalokasikan anggaran untuk subsidi buruh DIY Rp. 650.000 (sesuai KHL) per kapita untuk menjamin terjaganya daya beli kaum buruh. Jika APBD 2017 tidak mencukupi, sekiranya dapat ditambahi dengan Dana Keistimewaan yang melimpah.

Namun, jika Gubernur DIY tidak menaikan upah buruh dan juga tidak mensubsidi KHL buruh, maka kiranya perlu buruh DIY melakukan Tapa Pepe Jilid II, tetapi di makam Raja-Raja, Imogiri.

Salam Kebudayaan. (*)
14732243_1128993607207865_442957837962585296_n

Irvan Tengku Harja, Bidang Riset Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia.

Pos terkait