Upah 70 % di Atas UMK Tak Pernah Didapat, Nasib OS PLN Era Rezim Jokowi Semakin Terpuruk

Bekasi, KPonline – Kasus pemotongan Tunjangan Hari Raya (THR) Tahun 2021 ini seakan memuncak pelemahan kesejahteraaan bagi Pekerja Outsourcing (OS) di PLN. Pasalnya kebijakan semenjak pemerintahan dipimpin oleh Jokowi semakin tidak berpihak terhadap pekerja di BUMN ini.

Pada masa pemerintahan dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah dikeluarkan aturan untuk pekerja teknik mendapatkan upah 70% di atas UMK. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Direktur (SK Dir) PLN nomor 1040 tahun 2011 yang penerapannya dilakukan pada tahun 2012.

Ini seakan pekerja OS PLN menjadi sangat diperhatikan saat itu di saat buruh-buruh pabrik memperjuangkan upahnya sampai menutup jalan tol Jakarta-Cikampek di daerah Bekasi. Namun implementasi dari SK Dir no. 1040 ini tidak pernah dinikmati oleh pekerja OS PLN di daerah manapun. Menjadi pertanyaan ke mana menguapnya upah pekerja yang sudah dianggarkan PLN tersebut.

Tahun 2014 PLN menetapkan kebijakan dalam SK Dir nomor 500 yang mengatur upah pekerja OS PLN lebih rendah daripada SK Dir no. 1040. Di awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini, dalam SK Dir 500 ditetapkan upah pokok pekerja OS PLN secara umum dengan koefisien hanya 10% saja.

Dan pada akhirnya di tahun 2019 keluar Peraturan Direksi (PerDir) PLN nomor 219. Para pekerja OS PLN merasa dengan PerDir 219 ini upah menjadi tidak naik. Selain itu berimbas juga pada setoran BPJS Ketenagakerjaan yang semakin kecil karena dihitung hanya berdasarkan UMK, bukan berdasarkan besaran total upah yang diterima pada setiap bulannya.

Dari sekian peraturan terkait hak-hak pekerja OS yang dibuat PLN sendiri sebenarnya banyak yang tidak ditaati oleh vendor OS seperti halnya pada SK Dir 1040 yang disebutkan di atas. Namun anehnya PLN tampak tidak pernah memperlihatkan keberpihakan pada pekerja OS PLN yang berada di garda terdepan dalam penjualan energi listrik sebagai pemasukan utama PLN. Sampai pada akhirnya hak THR pekerja OS PLN berkurang ada yang mencapai 1,5 juta rupiah.

Padahal, sebagaimana perkataan dari Vice President Public Relations PLN Persero) Arsyadani Ghana Akmalaputri mengungkapkan, pembayaran THR pekerja outsourcing merupakan ranah hubungan industrial antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pekerja atau vendor. Yang berarti menjadi sinyalemen bahwa vendor lah yang menjadi sumber masalah.

“Terkait permasalahan THR dan pengupahan pekerja vendor, hal tersebut merupakan ranah hubungan industrial antara pekerja vendor dengan perusahaan pekerja, bukan dengan PT PLN (Persero),” ungkap Arsyadany dalam keterangan resmi, Kamis (10/6). Ironisnya vendor-vendor OS seakan bersepakat beralasan bahwa berkurangnya THR karena sesuai aturan yang dibuat PLN dalam PerDir 219.

Selain itu vendor-vendor yang bermasalah sampai saat ini masih diberi pekerjaan di PLN. Dengan modus berpindah menang di wilayah tender baru, vendor-vendor meninggalkan masalah dari kewajiban membayar pesangon sedangkan pekerja harus mengulangi dari awal kembali di vendor yang baru yang tentu saja berpengaruh dengan besaran upahnya dilihat dari masa kerja dari nol lagi.

Penulis: Chandra