UMSK Akan Dihilangkan Melalui Sebuah Rencana Jahat

Bogor, KPonline, – Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesepakatan bisa diartikan sebagai suatu hal yang terbentuk dari rangkain proses-proses, yang bisa saja termasuk ke dalam suatu perundingan maupun suatu pemikiran-pemikiran yang matang terhadap suatu hal-hal yang berkaitan. Dan hal-hal tersebut telah direncanakan serta disetujui oleh beberapa orang yang terkait.

Sehingga, didalam sebuah kesepakatan, dibutuhkan beberapa pihak yang akan melakukan perundingan, untuk merumuskan sesuatu hal. Dan biasanya, dibutuhkan 2 (dua) orang atau lebih, dalam melaksanakan perundingan untuk mencapai sebuah kesepakatan. Kesepakatan tersebut, bisa dibuat secara tertulis untuk menguatkan kesepakatan tersebut. Sehingga pihak-pihak yang melakukan kesepakatan terikat didalam perjanjian tertulis tadi.

Bagaimana dengan upah ? Apakah boleh membuat kesepakatan upah ? Tentu saja boleh. Dan sudah tentu, dalam membuat kesepakatan upah, pihak-pihak terkait dalam menentukan upah tersebut, akan melakukan perundingan terlebih dahulu, sebelum kesepakatan tersebut ditanda tangani. Sulit ? Berbelit-belit ? Adu argumen dengan sengit ? Bisa jadi. Karena jika sudah mempersoalkan permasalahan menentukan upah, itu sama saja dengan mempersoalkan sekaligus mempermasalahkan hajat hidup orang yang mendapatkan upah tersebut, dan juga orang-orang yang menikmati dari si penerima upah tadi.

Bicara upah sama halnya membicarakan urat nadi kaum buruh/kaum pekerja. Memutus upah sama juga halnya memutus urat nadi kaum buruh/kaum pekerja. Tidak hanya berdampak kepada buruh/pekerja saja, dampak terputusnya upah, juga akan berdampak terhadap keluarga buruh/pekerja tadi. Bahkan, secara tidak langsung, juga akan membuat efek domino terhadap perputaran roda perekonomian, baik secara mikro maupun secara makro.

Upah Minimum merupakan upah dengan perhitungan yang sangat minim, upah terendah yang harus diterima setiap pekerja/buruh, sebagai jaring pengaman dalam menjaga kesejahteraan pekerja itu sendiri dan juga keluarganya. Jaring pengaman ini sudah seharusnya diambil alih oleh pihak pemerintah dalam melindungi pekerja/buruh atau masyarakat secara keseluruhan, sehingga dalam penetapannya harus ditetapkan oleh pemerintah sesuai amanah UU No. 13 tahun 2003.

Terlebih-lebih dalam permasalahan penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) 2020 atau pun Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota 2020, yang hingga hampir akhir September 2020 ini, belum juga menemui titik temu. Hal ini mengakibatkan, ada jutaan buruh di Indonesia yang masih menggunakan skema pengupahan 2019. Padahal harga-harga kebutuhan pokok, sembako, inflasi dan lainnya sebagainya, sudah tidak sesuai lagi nominal upah minimum.

Dan saat ini, ramai dibicarakan mengenai rencana pihak pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun ditingkat kabupaten/kota, yang menginginkan agar nilai penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota, hanya berlaku bagi perusahaan yang dimana serikat buruh/serikat pekerja di perusahaan tersebut, telah melakukan kesepakatan dengan pihak pengusaha di perusahaan tersebut. “Rencana jahat” tersebut diduga kuat, akan digulirkan melalui surat rekomendasi atau surat keputusan seorang kepala daerah, entah kepala daerah tingkat provinsi atau pun kepala daerah tingkat kabupaten/kota.

Surat rekomendasi atau surat keputusan seorang kepala daerah, sudah seharusnya bisa melindungi seluruh masyarakat secara keseluruhan, dan tidak boleh bersifat parsial. Sehingga dengan surat rekomendasi atau surat keputusan dengan frasa “berlaku hanya untuk yang bersepakat”, hal ini sangat jelas melanggar Undang-undang Ketenagakerjaan dan juga melanggar azaz perlindungan pemerintah kepada rakyatnya.

Frasa “berlaku hanya untuk yang bersepakat”, jelas akan sangat merugikan bagi buruh-buruh yang tidak berserikat, tidak memiliki serikat buruh/serikat pekerja, atau memang ada oknum-oknum pihak pengusaha yang tidak menginginkan adanya serikat buruh/serikat pekerja didalam perusahaannya.

Pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dituding sebagai pihak yang “lepas tangan” dari permasalahan penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota, sejak beberapa tahun kebelakang. Padahal, dalam LKS Tripartit, baik di tingkat Nasional maupun di tingkat daerah, peran pemerintah sudah jelas, sebagai pemangku kebijakan dan pembuat aturan.

Atau memang, sebenarnya memang ada rencana jahat, melalui sebuah konspirasi jahat, oleh pihak-pihak tertentu, yang menginginkan Upah Minimum Sektoral Provinsi atau Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota dihilangkan? (RDW)