Dalam sejarah panjang gerakan buruh di Indonesia, aksi mogok kerja dengan penutupan lini produksi (tutup line) telah menjadi simbol paling kuat dalam perlawanan kolektif buruh terhadap ketidakadilan di tempat kerja. Gerakan ini bukan sekadar bentuk ekspresi kekecewaan, tetapi manifestasi dari perjuangan panjang menuntut hak yang dilanggar, keadilan yang diabaikan, dan suara yang terlalu lama dibungkam oleh dominasi kekuasaan modal.
Belakangan ini, aksi mogok kerja yang disertai dengan tutup line kembali mulai menggema di sejumlah kawasan industri, membangkitkan ingatan akan momen-momen historis yang pernah mengubah arah hubungan industrial di tanah air. Di pabrik-pabrik otomotif, tekstil, logam hingga makanan dan minuman, para buruh serempak menghentikan produksi, keluar dari line-line mesin, dan berbaris membawa poster-poster perlawanan.
Bukan Sekadar Aksi, Tapi Sejarah
Gerakan mogok kerja dengan tutup line telah lama menjadi bagian dari narasi besar perjuangan buruh. Di masa Orde Baru, ketika serikat buruh dibatasi dan dibungkam, buruh-buruh tetap menemukan cara untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mogok kerja adalah senjatanya.
“Ini bukan hanya soal upah. Ini tentang martabat. Ketika hak pekerja tidak dibayar, ketika jam kerja dilanggar, ketika kontrak kerja diperpanjang seenaknya tanpa status tetap, maka mogok dan tutup line menjadi bahasa terakhir, yang mungkin bisa didengar”
Tutup Line: Titik Kritis Industri
Penutupan lini produksi bukan tanpa risiko. Bagi perusahaan, setiap menit line berhenti berarti kerugian besar. Namun, di sisi buruh, ini adalah momentum untuk menunjukkan siapa sesungguhnya yang menggerakkan roda industri.
“Tanpa buruh, tidak ada produksi. Tidak ada keuntungan. Aksi tutup line mampu menjadi sarana mengonsolidasikan kekuatan kolektif buruh lintas departemen”.
Aksi ini juga mampu memaksa perusahaan untuk duduk bersama dalam perundingan, seringkali menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang sebelumnya tidak pernah dipertimbangkan oleh manajemen.
Respon Perusahaan dan Pemerintah
Tak jarang, aksi mogok kerja dan tutup line dibalas dengan intimidasi, pemanggilan aparat, bahkan ancaman pemutusan hubungan kerja. Namun bagi buruh, risiko itu tak sebanding dengan penderitaan jangka panjang akibat hak-hak yang terus diabaikan.
“Kalau buruh diam, pasti akan terus tertindas. Dan kalau melawan, buruh bisa bangkit, untuk menang”
Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, sering mengimbau agar dialog lebih diutamakan daripada mogok. Namun faktanya, banyak kasus mogok terjadi justru karena mediasi gagal atau tidak dijalankan secara adil. Bahkan, dalam sejumlah kasus, perusahaan menolak kehadiran serikat pekerja yang sah dan mendorong pekerja menandatangani perjanjian kerja tanpa negosiasi.
Sejarah yang Selalu Berulang
Mogok kerja adalah hak yang dijamin undang-undang. Pasal 137–145 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur secara eksplisit tentang mogok kerja sebagai bagian dari hak pekerja. Namun, implementasinya dilapangan sering kali tak sejalan dengan semangat konstitusi tersebut.
Di tahun-tahun sebelumnya, sejarah mencatat beberapa aksi besar yang berhasil memaksa perubahan signifikan:
Tahun 2012, mogok nasional oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) diikuti lebih dari 2 juta buruh di 21 provinsi.
Tahun 2022, mogok kerja menuntut pembatalan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi titik balik konsolidasi buruh nasional.
Masing-masing mencetak bab tersendiri dalam sejarah perjuangan kelas pekerja Indonesia.
Dari Pabrik ke Jalanan: Solidaritas Tak Terkalahkan
Aksi tutup line bukan hanya terjadi di dalam pagar pabrik. Banyak buruh kemudian bergerak ke jalanan, menggelar orasi, long march, bahkan bermalam di depan kantor pemerintahan. Solidaritas lintas sektor pun muncul, dimana buruh logistik mendukung buruh garmen, buruh otomotif berdiri bersama buruh makanan-minuman.
Gerakan ini menunjukkan bahwa ketika satu kelompok buruh dipukul, yang lain merasa ikut terluka. Solidaritas menjadi kekuatan paling mendasar yang membuat mogok kerja dengan tutup line tak pernah padam.
Kesimpulan: Membentuk Masa Depan dari Jerih Payah Hari Ini
Mogok kerja dengan tutup line bukanlah romantisme perjuangan. Ini adalah kenyataan sehari-hari buruh dalam menghadapi sistem kerja yang sering kali timpang dan tidak manusiawi. Sejarah menunjukkan bahwa hak-hak buruh tidak pernah diberikan secara cuma-cuma, namun semuanya harus diperjuangkan.
Ketika suara buruh tak lagi didengar dalam forum perundingan, maka mesin-mesin harus berhenti. Ketika kesejahteraan hanya jadi janji di atas kertas, maka barisan buruh harus maju ke depan. Mogok kerja dan tutup line adalah bahasa perjuangan. Dan perjuangan itu akan terus hidup, selama masih ada ketidakadilan di dunia kerja.
“Buruh tak menuntut lebih. Buruh hanya menuntut yang seharusnya menjadi hak buruh.”