Jakarta, KPonline – Artikel Staf Riset Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Irvan Tengku Harja terbit di detik.com, Kamis (20/7/2017). Dalam tulisan yang berjudul ‘Penurunan Daya Beli dan PHK Massa’ itu Tengku mengatakan, bahwa Pemerintahan Jokowi-JK selama tiga tahun telah menelurkan paket kebijakan ekonomi sebanyak 14 (empat belas) jilid. Paket kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan berbagai perspektif.
Mulai dari (1) kepastian usaha, (2) izin investasi, (3) penurunan bunga KUR, (4) pengupahan, (5) menghilangkan pajak berganda, (6) insentif pajak di KEK, (7) kemudahan akses permodalan, (8) pembangunan kilang minyak, (9) pembangunan pembangkit listrik, (10) melindungi usaha kecil (?), (11) dana investasi real estate (DIRE, (12) permudah izin bangunan usaha, (13) reformasi perijinan usaha, hingga (14) roadmap e-commerce.
Pertanyaannya, apakah 14 paket kebijakan tersebut efektif untuk perekonomian rakyat? Berikut analisa lengkap Tengku secara lengkap:
Daya Beli
Selepas momen Hari Raya Idul Fitri 2017, mencuat di berbagai media massa mengenai tutupnya gerai-gerai ritel dan turunnya omzet usaha sektor ritel di Indonesia. Seperti yang terjadi di Pasar tanah Abang, pedagang di pasar tersebut mengeluhkan sepinya pembeli di momen Idul Fitri tahun ini dan menyampaikan bahwa omzet penjualan mereka turun 65% dibanding tahun sebelumnya.
Selain sektor tekstil, sektor ritel makanan dan minuman pun mengalami hal yang sama, demikian nampak pada tutupnya seluruh gerai 7-Eleven di Jakarta karena penjualan tidak mencapai target.
Di sektor ritel elektronik, penurunan omzet nampak terjadi di Pasar Glodok sepanjang 3 tahun kebelakang. Pantauan dari detikFinance, lantai 2 hingga lantai 5, tidak ada pedagang elektronik yang berjualan, dan sebagian besar kios bertuliskan ‘disewakan’ dan ‘dijual’.
Fenomena yang terjadi di Pasar Tanah Abang, 7-Eleven, dan Pasar Glodok adalah sebagian contoh representatif dari kondisi perekonomian sektor ritel secara keseluruhan. Indikasi kuat dari turunnya omzet penjualan dan tutupnya gerai-gerai ritel dikarenakan daya beli masyarakat yang semakin melemah.
Hal tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap PDB (atas harga berlaku menurut pengeluaran) triwulan I-2017 sebesar 56,94%, turun dibanding 2016 di triwulan yang sama dengan prosentase 57,70% (BPS, 2017).
Turunnya daya beli masyarakat tersebut disebabkan beberapa hal, salah satunya karena rendahnya upah buruh. Demikian dapat diamati pada tren pertumbuhan upah minumum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang mengalami penurunan. Nilai UMP Jakarta 2013 naik 44% dibanding 2012, namun dari 2013 ke 2014 UMP Jakarta tutun drastis dari naik 44% hanya menjadi naik 11%. Dari 2014 ke 2015 pun sama, hanya naik 11%, dan dari 2015 ke 2016 naik ke 15%. Sedangkan 2016 ke 2017 pertumbuhan mengalami penurunan di angka 8%.
Tidak hanya upah buruh industri yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun, upah riil buruh tani nasional pun turun 0,19% dan upah riil buruh bangunan turun 0,29% (BPS, 2017). Turunnya upah buruh secara riil tersebut diperberat dengan kebijakan pemerintah seperti pencabutan subsidi BBM dan TDL.
PHK Massal
Dampak sistematik dari turunnya daya beli masyarakat tersebut kemudian tertuju pada perusahaan-perusahaan selaku produsen barang-barang konsumsi. Rendahnya serapan konsumsi mengakibatkan perusahaan harus melakukan manajerial anggaran seperti pengurangan kuantitas produksi, pengurangan harga jual barang, dan pengurangan biaya produksi.
Akibatnya, pengurangan buruh pun dilakukan oleh perusahaan. Dengan kata lain, penurunan daya beli masyarakat berdampak sistemik terhadap PHK massal oleh perusahaan.
Implikasi turunnya daya beli, turunnya omzet penjualan, dan PHK massal yang korelatif terjadi sejak 2015. Pada 2015, terjadi PHK besar-besaran di sektor garmen dan tekstil yang mengakibatkan puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan. Pada 2016, giliran sektor elektronik dan otomotif yang mengalami penurunan penjualan dan melakukan PHK.
Tercatat perusahaan-perusahaan elektronik yang melakukan PHK terjadi di PT Toshiba, PT Panasonic, PT Phillips, PT Samoin, PT DMC dan PT Ohsung. Untuk perusahaan-perusahaan otomotif, yang melakukan PHK PT Yamaha, PT Astra Honda Motor, PT Hino, PT AWP, PT Aishin, PT Musashi, dan PT Sunstar.
Tak luput dari ingatan pula pada 2016 di sektor pertambangan terjadi PHK massal dikarenakan jatuhnya harga komoditas primer di pasar internasional. Walaupun pada 2017 PHK massal tidak nampak, akan tetapi gejala-gejala PHK massal 2017 dapat diprediksi. Prediksi terjadinya PHK massal dapat diatribusikan pada pola yang sama pada 2015 dan 2016 dimana serapan konsumsi barang-barang yang rendah di sektor tertentu terjadi di sektor ritel pada 2017 ini.
Gejala tersebut dapat dilihat di Pasar Tanah Abang, Pasar Glodok, dan 7-Eleven. Artinya, penurunan daya beli tahun ini merupakan lampu kuning bagi industri sektor garmen dan tekstil, elektronik, dan makanan/minuman serta barang-barang konsumsi kemasan.
Langkah Pemerintah
Salah satu sebab turunnya daya beli masyarakat bagi kalangan buruh diakibatkan oleh politik pengupahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) yang menekan tingkat kenaikan upah minimum tahunan. Kebijakan pengupahan yang membatasi kenaikan upah minimum hanya disesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional nyatanya tidak mampu mengimbangi kenaikan harga-harga barang akibat efek domino pencabutan subsidi BBM dan TDL.
Alhasil, daya beli kalangan buruh turun. Turunnya daya beli ini merupakan ancaman nyata bagi sektor ritel barang konsumsi harian, sebab sektor ini menjajakan barang konsumsi sehari-hari.
Dari problem penurunan daya beli masyarakat, termasuk buruh, pemerintah perlu menyusun langkah ekonomi-politik strategis untuk menghentikan PHK massal yang terus terjadi dan mencegah ancaman PHK massal ke depan yang sudah mulai tampak gejala-gejalanya. Salah satu langkah yang perlu diambil oleh pemerintah guna menstimulus kembali kekuatan daya beli masyarakat adalah dengan cara meningkatkan upah buruh secara signifikan melalui langkah awal pencabutan PP 78/2015.
Selain itu, kebutuhan krusial masyarakat seperti BBM dan TDL pun perlu disubsidi lebih besar oleh pemerintah. Karena kedua kebutuhan tersebut merupakan jenis barang yang paling banyak menyerap pengeluaran masyarakat. Dengan demikian, daya beli masyarakat perlahan-lahan akan naik dan konsumsi barang-barang di pasar pun akan terserap, yang pada akhirnya roda perekonomian berjalan dengan baik dan dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.