Purwakarta, KPonline – Libur panjang Tahun Baru Islam 2025 membawa kemacetan parah di Tol Cipularang, dengan antrean kendaraan membentang 12-25 km dari pagi hingga siang hari. Ribuan pengendara terjebak, waktu tempuh membengkak, dan keluhan menggema di media sosial. Namun, menariknya, tidak ada hujatan atau makian yang membanjiri linimasa seperti saat kemacetan terjadi akibat demo buruh.
Wahyu Hidayat, sebagai pendiri Spirit Binokasih dan juga sekaligus Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Purwakarta, mencermati fenomena ini dengan kekecewaan mendalam. Mengapa kemacetan akibat libur panjang atau proyek infrastruktur diterima sebagai “bagian dari hidup”, sementara aksi buruh yang memperjuangkan hak hidup mereka justru menuai hujatan. Beberapa waktu lalu, istri Ridwan Kamil terjebak macet 3 jam akibat demo buruh dan mendapat simpati ribuan netizen. Namun, saat kemacetan terjadi karena libur atau proyek jalan, respons publik cenderung pasrah, bahkan memaklumi.
Padahal, menurut Wahyu, buruh yang turun ke jalan bukan tanpa alasan. Mereka menghadapi penguasa yang keras kepala, seperti PJ Gubernur yang enggan mendengar aspirasi soal upah layak. Demo adalah jalan terakhir ketika dialog gagal, tekanan adalah senjata terakhir untuk memperjuangkan kelangsungan hidup keluarga mereka. Mengapa perjuangan ini dianggap sebagai gangguan, sementara kemacetan akibat libur atau proyek diterima begitu saja?
Ketimpangan persepsi ini mencerminkan ketidakadilan sosial yang mengakar. Buruh, yang bekerja keras membangun perekonomian, justru dipandang sebelah mata saat memperjuangkan hak. Sementara itu, kemacetan akibat libur atau proyek dianggap wajar karena dianggap “penting” bagi kepentingan umum. Padahal, upah layak adalah fondasi kehidupan yang sama pentingnya.
Wahyu Hidayat menegaskan, publik harus mulai memahami bahwa buruh bukan musuh, melainkan tulang punggung bangsa yang berjuang untuk keadilan. “Jika kita bisa memaklumi macet karena libur, mengapa tidak bisa memahami perjuangan buruh? Mari buka mata, dengar suara mereka, dan hentikan stigma yang tidak adil,” pungkasnya.