Tidakkah Kalian Rindu Kampung Halaman ? (Bagian 2)

Bogor, KPonline – Sri menghirup aroma kopi import sambil memejamkan kedua belah matanya. Disalah satu sudut gerai kopi ternama dunia, yang terletak dilantai dasar mall terkenal di Jakarta. Sri berharap penat dan lelah seharian yang ia rasakan dapat terbayarkan dengan aroma kopi import yang sedang ia hirup tersebut.

Diseberang tempat duduk Sri, sang asisten pribadinya masih sibuk berkutat dengan jadwal kerja dan laporan. Stephanie, gadis muda dengan rambut sebahu, sekira 25 tahun usianya, berkulit putih, dengan mata yang agak sipit khas keturunan Tionghoa, berparas elegan dengan balutan jas blazer ala eksekutif muda. Mengenakan high-heel merk ternama, menambah kesan glamour akan kecantikannya. Berbanding terbalik dengan Boss-nya, Sri hanya mengenakan busana casual, kemeja putih dan celana jeans dipadu dengan sepatu sport trendy. Riasan wajah yang tidak mencolok, biasa saja, akan tetapi tidak mengurangi aura kecantikan yang terpancar dari wajah ayunya.

Bacaan Lainnya

“Kemarin sholat Ied dimana Mbak ? tanya Stephanie kepada wanita diseberangnya. Sri tersedak cairan kopi yang baru saja ia teguk. Tetesan kopi berhamburan keluar dari bibir mungilnya, hingga warna lipstik merah natural yang menempel membaur dengan warna hitam pekat kopi. Dengan sigap, Stephanie mengambil beberapa lembar tissue yang ada diatas meja, membantu sang Boss yang sedang sibuk membersihkan kemeja putihnya dari noda kopi yang menempel. “Maaf Mbak, saya nggak bermaksud menyinggung” ujar Stephanie dengan wajah mulai memerah dipipi dan sekitar hidungnya. “Nggak apa-apa, udah Steph, udah..udah..nggak apa-apa” Sri berusaha menenangkan Stephanie yang mulai gugup menghadapi situasi yang agak diluar kendali dan mulai sedikit demi sedikit agak tenang.

“Maaf yaa Mbak” sekali lagi Stephanie berucap kata maaf. “Udah nggak apa-apa” Sri mulai menjaga sikap ketika beberapa orang pengunjung gerai mulai memperhatikan tingkah Sri dan Stephanie. “Ok..ok..gimana kalau kita pulang saja. Sudah jam 1 pagi ini Steph. Besok kan kita ada meeting dengan seluruh Ketua Kontingen” Sri mengalihkan perhatian dan mencoba menguasai keadaan. “Oh iya yaa Mbak. Ayo Mbak kita pulang” sambil mulai membereskan beberapa lembar berkas dan 2 buah laptop yang sejak sejam lalu sudah diatas meja. Stephanie sangat gesit meskipun sorot matanya terlihat mengantuk dan lelah. Pun begitu dengan Sri.

Bergegas ke arah area parkir, Sri seakan-akan sedang mencari sesuatu. “Mobil kamu parkir dimana Steph?” tanya Sri kepada Stephanie. “Vallet Parking Mbak tadi yang bawa” agak tersentak kaget dan sedikit khawatir Stephanie akan keadaan mobil milik Boss-nya. “Oh iya, bonus kamu udah ditransfer kan yaa kemarin?” telisik Sri sambil melihat layar telepon seluler miliknya. “Udah Mbak. Terima kasih banyak yaa Mbak” wajah Stephanie mulai terlihat tenang dan memancarkan keceriaan. “Yaa udah. Berarti malam ini kamu naik taksi aja yaa. Nggak apa-apa kan Steph? Sri menyelesaikan kalimatnya tepat disaat mobil sedan sport 2 pintu keluaran Jerman berhenti tepat dihadapannya.
“Malam Mbak Sri. Ini kuncinya” petugas Vallet Parking agak membungkuk ketika memberikan kunci mobil kesayangannya. Selembar uang 50 ribuan sudah disiapkan untuk petugas Vallet Parking tersebut. “Thanx” singkat saja yang diucapkan oleh Sri kepada sang petugas parkir, sambil menyelipkan lembaran uang tadi ke saku depan jasnya. “Terima kasih Mbak. Hati-hati dijalan. Selamat Malam” dengan begitu ramah sang petugas parkir memberi salam.

Sri sudah didalam mobil, diatas jok mobil yang terbuat dari bahan kulit kualitas nomer wahid, sambil memegang kemudi mobil dengan design Formula 1, Sri menurunkan kaca mobilnya. “Steph, kalau besok saya nggak ke kantor, kamu bisa kan handle meeting besok? wajah Sri tiba-tiba memucat pasi. “Kenapa saya Mbak? Kan ada Mas Hendy atau yang lainnya?” Stephanie agak menolak permintaan Sri. “Kamu keberatan Steph? sambil tersenyum simpul Stephanie menggelengkan kepalanya. “Ok deal yaa. Thanx yaa Steph” sedetik kemudian Sri mulai memacu roda empat yang memiliki 512 horse power dan sedetik atau dua mulai menghilang di atas aspal lajur cepat jalanan Ibukota.

Stephanie masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Apakah pertanyaannya yang tadi salah? “Memangnya Mbak Sri nggak sholat Ied yaa kemarin?” Stephanie menerka-nerka sambil mulai membuka aplikasi taksi online untuk memesan dan mengantarkannya pulang.

…..
Dilantai 8 sebuah apartemen mewah dibilangan tengah kota, Sri duduk ditempat duduk rotan anyaman. Beralaskan busa tebal kualitas eksport, Sri terlihat sedang memegang gelas kristal berisi anggur merah import yang dia beli disebuah toko online.

Memandang wajah Ibukota dari sudut pandang yang tinggi, ditemani semilir angin malam, Sri mulai menerawang. “Kemarin sholat Ied dimana Mbak?” pertanyaan dari Stephanie itulah yang membuat Sri gelisah. “Bagaimana mungkin seorang Non-Muslim seperti Stephanie bisa berkata-kata seperti itu?” pikiran Sri berkecamuk, perang batin dan logika baru saja dimulai didalam sanubari Sri.

“Ahh..sudah berapa lama aku tak sholat?” bisiknya dalam hati. Sri seorang wanita yang mulai mendekati paruh baya, hidup sendiri dalam gelimpangan kemewahan dan kecukupan. Wanita yang berasal dari desa kecil dan mulai menantang dan berkelahi dengan kekejaman Ibukota sejak remaja. Kesibukkannya yang cukup tinggi, membuat dirinya lupa, betapa pentingnya sholat dalam hidup ini. Batinnya mulai merenung dan ada seberkas penyesalan terpancar dari wajahnya yang ayu.

Ia berdiri lalu melangkahkan kakinya yang panjang dan jenjang ke arah meja kerja disudut kiri apartemennya. Sri mulai memandangi satu persatu foto-foto yang ada diatas meja kerjanya. Foto dirinya, foto-foto keluarganya, foto Joko dan Yanto dan sudut matanya melirik sebuah foto lawas Ibu dan Bapaknya. Sebuah foto pernikahan, antara Ibu dan Bapaknya yang sedang mengenakan pakaian adat Jawa.

Sri tersenyum melihat foto-foto keponakan-keponakannya. Lucu dan menggemaskan. “Gimana yaa kabar mereka sekarang?” satu pertanyaan mulai muncul dikepalanya. Didinding tembok nan kokoh, sebuah foto berwarna yang mulai pudar warnanya, tergambarkan dirinya yang masih remaja berfoto bersama keluarganya. Ibunya, Bapaknya, Mas Joko dan Dik Yanto. Dan seketika itu juga, mata indahnya mulai sembab karena ada selinang air mata disudut matanya. Sri mulai teringat kembali masa-masa sulit dikampung halamannya.

Masa-masa dimana untuk membeli buku tulis dan pensil saja, Sri harus memetik daun pisang di kebun orang lain, dikumpulkan baru lalu dibawa ke pasaf untuk dijual. Terselip senyum tipis nan getir diantara tangisan tak bersuara Sri. Dia juga mulai mengenang masa-masa indah nan bahagia bersama saudara-saudaranya dikampung. Tertawa lepas bahagia, tanpa beban tanpa asap knalpot kendaraan bermotor. Masa kecil yang indah dan bahagia yang ia rasakan, mulai merasuki jiwanya. Sri mulai rindu akan suasana pedesaan dan semerbak harum bau tanah sawah yang ditimpa air hujan.

Pikirannya mulai melayang menelusuri setiap jejak-jejak langkah masa kecilnya dikampung. Hatinya mulai dihinggapi perasaan rindu dendam yang tak tertahankan. Jiwanya mulai dahaga akan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan disuasana hingar bingar perkotaan.

Tiba-tiba, telepon seluler miliknya yang sedari tadi ia geletakkan diatas meja kerjanya bergetar lalu berbunyi. Ada satu pesan SMS masuk. Diangkatnya lalu dibuka. “Ibu sudah masak makanan kesukaanmu Sri. Kapan kamu pulang?” dari seberang sana Bu Sutini mengirimkan sebuah pesan. Pesan yang sangat sarat dengan sebuah makna penting. Masak? Makanan? Pulang? Tiga kata yang tiba-tiba saja membuat Sri meraih jaket, kunci mobil, dompet dan sebuah foto. Foto keluarga kecil, yang menggambarkan Pak Wasisto sedang memegang cangkul, Bu Sutini yang sedang menggendong bakul, Joko yang bertelanjang dada sambil berjongkok dan tertawa bersama Sri, serta si Bungsu Yanto yang memegang topi caping, pulang dari sawah.

Setengah berlari, Sri menuju lift. Sesampainya di area parkir basement apartemen mewahnya, dibukanya pintu mobil sport miliknya dengan menggunakan remote control. Begitu tergesa-gesanya Sri, hingga ia sempat terpeleset sebelum meraih gagang pintu mobilnya. Cepat-cepat ia buka pintu mobil dan segera duduk dibalik kemudi. Memasukkan anak kunci ke lubangnya dan brumm brumm. Suara mobil sport keluaran Jerman itu mengelegar meraung-raung. Sesaat Sri termenung sambil meletakkan foto keluarga kecilnya diatas dashboard. Sri tersenyum dan bergumam dalalm hati. “Aku mencium masakanmu, Bu. Aku pulang”

Mobil itupun melesat bagaikan kilat. Menuju tempat dimana Sri berasal. Sebuah desa kecil, kampung halamannya.

Pos terkait