Tidakkah Kalian Rindu Kampung Halaman ? (Bagian 1)

Bogor, KPonline  – Pak Wasisto dan Bu Sutini resah dan gelisah diruang tamu dengan design interior yang sangat sederhana. Didominasi kayu-kayu jati tua, rumah Joglo peninggalan orang tua mereka terasa hambar dan getir sore ini. Raut wajah mereka menyiratkan kecemasan dan gundah gulana yang teramat sangat. Rasa kecewa dan kepanikan menyemburat dari kerut-kerut wajah kedua pasangan yang sudah lewat paruh baya ini.

Sore 1 Syawal ini, belum seorang pun dari ketiga putra-putrinya yang hadir menemani masa-masa senja mereka berdua. Pak Wasisto khawatir, sudah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap kedua putra dan seorang putri mereka. Jangankan memberi kabar, sekedar memberi salam pun belum mereka dapatkan. Padahal, di zaman yang sudah super canggih sekarang ini, percakapan jarak jauh melalui aplikasi video-call berbasis internet pun sudah berseliweran didunia maya. Tapi apalah daya Pak Wasisto yang hanya pensiunan guru Sekolah Dasar tingkat desa. Terdengar samar, desahan nafas Pak Wasisto ketika menghela udara sejuk pedesaan sore hari ini. Kekecewaan yang sangat mendalam, tergambar dengan jelas diwajah sepuhnya. “Kenapa anak-anakku tidak mudik lagi tahun ini ?” batin Pak Wasisto menggetarkan lubuk hatinya yang paling dalam.

Bacaan Lainnya

Bu Sutini masih asyik dengan pengelanaan masa lalunya. Pikirannya menerawang jauh ke masa dimana anak-anaknya masih kecil dan ingusan. Suasana rumah yang ramai dan berantakan. Anak-anaknya yang berlari-larian kian kemari, bercanda dan tertawa. Terkadang berkelahi satu dengan yang lainnya, hanya karena masalah sepele. Joko si sulung yang pendiam, tanpa banyak bicara. Si tengah Sri yang periang dan cantik jelita dan si bungsu Yanto yang aktif bergerak tak kenal lelah, sedikit manja dan banyak cengengnya. Ketiganya merupakan buah hati dari kisah cinta sepasang anak manusia dari desa, dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Hingga suatu saat, ketiga anak-anak Bu Sutini beranjak dewasa dan berangkat ke kota.

…..
“Bu, apa Joko sudah menelepon ?” sebuah pertanyaan singkat yang penuh pengharapan. Pak Wasisto sangat berharap, anak-anaknya berkumpul di hari Lebaran ini. Membawa seluruh cucu-cucunya dan merayakan hari kemenangan ini bersama, dengan cara yang sederhana. Sederhana. Kesederhanaan yang memang sangat dijunjung tinggi dalam keluarga Pak Wasisto.
“Belum Pak. Mungkin dia sedang sibuk. Kan biasanya Joko yang paling belakangan kalau mudik” jawaban spekulatif dari Bu Sutini diharapkan mampu meredam kebimbangan dan kesedihan Pak Wasisto. Maklum saja, Joko-lah yang menjadi harapan kedua orang tua yang mulai sepuh ini. Sebagai tulang punggung penyambung hidup orang tuanya, Joko tak pernah lupa mengirimkan sebagian rezekinya untuk dikirimkan ke kampung, untuk kedua orang tuanya tentunya.

Tapi bukan itu, bukan uang kiriman dari Joko yang selalu diharapkan oleh Pak Wasisto dan Bu Sutini. Kehadiran anak-anak mereka-lah yang sangat mereka berdua harapkan. Rindu yang mendalam, merajut silaturrahim yang hakiki dan wujud bakti anak-anak terhadap orang tua. Pak Wasisto kembali menghela nafas yang panjang, matanya nanar menatap bentangan padi yang sudah mulai menguning diatas lahan persawahan. Ada sepercik asa yang hampa yang menghimpit dadanya. Ungkapan rasa cinta kasih yang tak terungkapkan.

Bu Sutini belum beranjak dari bale-bale kayu jati yang terlihat kokoh dan beraroma masa lalu yang mulai menggerogoti sandarannya. Pikirannya masih melayang-layang diantara masa lalu dan masa kini. Ungkapan cinta kasihnya yang hampir sama dengan apa yang Pak Wasisto rasakan, hanya mampu ia pendam didalam lubuk hatinya yang paling dalam. Bu Sutini terperanjat, tersadar dalam lamunannya. Bu Sutini melupakan rutinitas setiap sore. Lalu mulai beranjak dari bale-bale tua tersebut. Baru akan melangkahkan kakinya ke dapur, Bu Sutini dikejutkan oleh suara Pak Wasisto. “Mau kemana Bu ?” dengan penuh tanda tanya Pak Wasisto berujar ke istri tercintanya. “Ke dapur, mempersiapkan untuk buka puasa, Pak” jawaban lembut Bu Sutini ternyata langsung disambut oleh Pak Wasisto. “Bu, hari ini sudah Lebaran. Kamu nggak rela yaa bulan Ramadhan berlalu ?” tersenyum simpul Pak Wasisto ke arah istri tercintanya. “Oalah Pak. Aku lupa” sambil menepuk kening menggunakan telapak tangan kanannya, Bu Sutini tertawa bersama Pak Wasisto. Lupa. Pikun. Tanda-tanda penuaan yang tidak bisa dipungkiri. Mereka berdua tampak hanyut dalam gelak tawa, diteras rumah lawas dengan kayu jati yang terlihat kokoh dan keras.

…..
Sementara itu, di Ibukota, Sri bersama asisten pribadinya masih saja berkeliling mengunjungi para Ketua Kontingen dari negara-negara kontingen peserta Asian Games ke-18 Jakarta-Palembang. Memberikan jadwal acara dan melakukan lobby-lobby dan pendekatan, agar setiap atlet dari negara-negara peserta perhelatan akbar empat tahunan ini berjalan dengan lancar dan sesuai dengan jadwal acara.

Sri menjadi seseorang yang sangat dibutuhkan oleh banyak orang, kesana dan kemari, ditanya ini dan itu, Sri mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh panitia acara, dengan sangat mudah dapat diselesaikan oleh Sri. Seperti manusia super, Sri mampu berbicara dalam berbagai bahasa. Bahasa China, Arab, Inggris, Jepang dan bahasa Indonesia tentunya.

Meskipun perhelatan akbar ini baru akan berlangsung pada Agustus 2018 nanti, tapi persiapan demi persiapan sudah dikerjakan dan akan terus dikerjakan hingga terlaksananya perhelatan akbar tersebut. Di lobby hotel mewah di jantung ibukota, Sri sedang membantu Ketua Kontingen dari negara Jepang dalam mempersiapkan kelengkapan para atlet Jepang. Dan telepon seluler Sri berbunyi. Terlihat ada pesan Whatsapp yang masuk. Yanto mengirimkan pesan.

Sri hanya melihat sekilas pesan tersebut. “Mbak, kalau mudik, aku numpang yaa” hanya tertulis sebaris kalimat. Sri menutup kembali telepon seluler miliknya, dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Suasana hati Sri terusik dengan pesan yang dikirimkan oleh Yanto adiknya yang bungsu. Pikirannya bercabang dua setelah membaca pesan dari Yanto, si Bungsu yang kurang beruntung. Sehari-hari, Yanto aktif di sebuah serikat buruh yang cukup disegani oleh pemerintah. Sebagai pengurus Dewan Pimpinan Cabang serikat buruh, Yanto terlalu sibuk membantu orang lain. Bahkan, untuk mengurus dirinya sendiri pun, Yanto sering melupakan.

…..
Lain halnya dengan Joko. Dia masih di toko kelontong miliknya. Bersama 5 orang pekerjanya, Joko masih sibuk melayani pembeli di hari Lebaran ini. “Cuma toko kita lohh Bu yang buka di hari Lebaran ini, kan lumayan buat nabung-nabung” ujar Joko kepada istri tercintanya, Narsih.

Parjo, Tukiyem, Wawan, Khaidir dan Saiful hanya 5 orang dari 8 orang total seluruh pekerja yang bekerja untuk Joko. Pardi, Wati dan Sukri dengan terpaksa meninggalkan pekerjaan sebagai pekerja di toko kelontong terbesar di salah satu pasar terbesar dipinggiran Ibukota. Ketiga orang tersebut mengambil resiko diberhentikan sebagai pekerja di toko kelontong milik majikan mereka, Joko. Mereka bertiga bersikeras untuk mudik, meninggalkan pekerjaannya, hanya demi bertemu kedua orang tua mereka.

Joko masih sibuk dengan kalkulator dan kertas-kertas bon toko, ketika Narsih meneleponnya. Sekali atau dua, Joko mengabaikan panggilan tersebut. Tapi pada akhirnya, dijawab juga panggilan tersebut dengan rasa malas. “Mas, tadi Yanto telepon kamu ?” dengan suara lemah lembut Narsih bertanya kepada sang suami. ” Nggak Dik, udah dulu yaa, aku lagi sibuk nih. Nanti aku telepon balik” begitu cepat Joko menjawab pertanyaan istrinya. Tanpa ada keinginan untuk bertanya balik atau menanyakan hal-hal yang lain, Joko seakan-akan tidak peduli dengan Lebaran, tidak peduli dengan kondisi pekerja-pekerjanya, tidak peka dengan pertanyaan istrinya, dan mungkin juga tidak peduli dengan Yanto.

…..
Didalam bus antar kota antar provinsi, Yanto bersama istri dan ketiga anak-anaknya duduk menempati barisan ketiga dari belakang. Mereka terlihat lelah. Jumisih bersandar dibahu Yanto yang juga nampak lelah sangat. Sedangkan Revo, Reva dan Revi sudah terlelap semenjak bus meninggalkan terminal bus antar kota sore tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 02:17, tapi Yanto masih saja terjaga. Seperti ada banyak hal yang sedang dipikirkannya. Beberapa kali Yanto memandangi wajah istri dan anak-anaknya, bahkan sempat mengusap keringat dingin yang mengucur dari kening istrinya.

Telepon selulernya tersambung dengan sebuah powerbank, dan layarnya pun seperti enggan meredup. Sesekali ia membalas pesan Whatsapp dari seseorang diseberang sana. Keberangkatannya mudik kali ini terasa tidak menenangkan, seperti ada hal yang besar yang sedang merundung jiwanya.

“Sorry Bro. Lebaran kali ini gua harus mudik. Mumpung gua masih punya orang tua.” kalimat-kalimat pendek tersebut menyiratkan betapa rindunya Yanto terhadap orang tuanya. Memang sudah 5 tahun terakhir ini, Yanto tidak pernah mudik. Banyak perusahaan yang enggan membayarkan Tunjangan Hari Raya kepada buruh-buruhnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan Yanto tidak pernah mudik. Memberikan konsultasi gratis kepada buruh-buruh yang terdzalimi, mengadvokasi buruh-buruh yang THR-nya tidak diberikan dan segudang permasalahan Hubungan Industrial lainnya.

Selang beberapa lama, telepon seluler Yanto berbunyi kembali. “Iya Bang, ane paham kok. Salam hormat dari ane buat orang tua abang dikampung. Sampaikan ucapan terima kasih dari ane dan kawan-kawan yang lain, buat orang tua abang, karena sudah melahirkan orang yang baik dan bermanfaat buat orang banyak” kalimat terakhir membuat Yanto menangis. Tangis yang tertahan, membuat Yanto sesegukan menahan kemarahan dan kesedihan yang cukup mendalam. Betapa tidak, dia harus meninggalkan kawan-kawan buruh yang disaat Lebaran ini masih harus bertahan di tenda perjuangan. Kawan-kawan buruh yang hak-haknya sudah dirampas. Didzalimi oleh pengusaha hitam yang tak berperikemanusiaan.

Mendengar isak tangis yang tertahan dari suaminya, Jumisih terjaga karena guncangan bahu Yanto yang sedari tadi dirundung kesedihan. “Mas, kamu bukan dewa. Juga bukan malaikat. Kamu hanya manusia biasa. Sama seperti mereka. Hanya saja, situsai dan masalah yang kamu dan mereka hadapi sedikit berbeda” seraya memegang dagu Yanto, Jumisih mencoba menenangkan Yanto dari kemarahan dan kesedihan.

“Aku telah jahat sama mereka. Aku meninggalkan mereka disaat mereka membutuhkan aku” air mata mulai meleleh membasahi kedua pipi Yanto yang terlihat tirus dan kurus. Jumisih mulai menegakkan bahunya, lalu memegang kedua pipi suami tercintanya. “Mas, hidup ini adalah pilihan. Dengan sudah membantu mereka pun, kamu sudah hebat. Apalagi kalau kamu ada diantara mereka saat ini. Tapi Mas, hidup kamu bukan hanya milik kawan-kawan kamu yang buruh-buruh pabrik itu kan. Kamu juga milik aku, milik anak-anak dan milik orang tua kamu” bertambah keras isak tangis Yanto, hingga beberapa orang penumpang menengok ke belakang, ke arah suara tangisan itu berasal. Yanto mulai mendekap Jumisih, dan kini kepalanya mulai disandarkan di bahu istrinya.

Yanto sangat memahami apa yang diucapkan oleh Jumisih. Perempuan terbaik yang pernah ia kenal dalam hidup ini. Tak sedikit pun Jumisih mengeluh tentang uang belanja yang kurang atau sering tidak hadirnya Yanto dalam acara-acara penting keluarga. Semua hal tersebut dilakukan untuk kepentingan orang banyak, atas dasar kemanusiaan dan bentuk kepedulian Yanto kepada buruh-buruh kerah biru.

Bus antar kota antar provinsi terus melaju di jalur Pantura yang mulai sepi dari lalu lalang kendaraan bus dan truk. Membelah dinginnya angin malam dan menembus jarak dan waktu yang mulai resah. Menyamai gelisah Yanto, gundah akan nasib kawan-kawan buruh yang ada disana.

Pos terkait