Jakarta, KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam keras dan mengutuk tindakan teror berupa pengiriman kepala babi dan kepala tikus yang terpenggal ke kantor redaksi Tempo. Bagi KSPI, peristiwa ini bukan sekadar teror biasa, melainkan ancaman nyata terhadap kebebasan pers yang menjadi fondasi utama dalam kehidupan demokrasi.
“Teror adalah tindakan keji dan penghinaan terhadap demokrasi. Jika cara-cara seperti ini dibiarkan, maka demokrasi Indonesia berada dalam bahaya,” tegas Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.
Dalam sejarah perjuangan buruh, kebebasan pers memiliki posisi penting dan strategis. Di masa Orde Baru, ketika serikat buruh dikebiri dan media dikendalikan, suara pekerja nyaris tak terdengar. Pers yang bebas dan bertanggung jawab menjadi sekutu penting dalam mengungkap ketidakadilan, ekses kapitalisme, dan pelanggaran hak-hak buruh. Oleh karena itu, ketika kebebasan pers diserang, maka secara langsung pula ruang demokrasi bagi gerakan buruh ikut terancam.
KSPI melihat bahwa aksi teror ini tidak berdiri sendiri. Ia mencerminkan pola pembungkaman yang mengkhawatirkan: suara-suara kritis dibungkam bukan dengan argumen, melainkan dengan ancaman. Jika praktik ini dibiarkan tumbuh, maka tidak hanya pers yang menjadi korban, tetapi seluruh warga negara yang memiliki hak atas informasi yang bebas dan independen.
“Kami menyatakan dukungan penuh kepada Tempo dan seluruh insan pers yang terus berjuang menjaga kebebasan pers yang bertanggung jawab. Pers yang menyampaikan fakta secara konseptual adalah fondasi penting bagi demokrasi yang sehat,” lanjut Said Iqbal.
Ia juga mengingatkan bahwa pers dan gerakan buruh sama-sama memainkan peran sebagai pilar demokrasi. Sama seperti buruh yang berorganisasi dan menyuarakan tuntutan melalui unjuk rasa atau perundingan, jurnalis juga menggunakan tulisan dan liputan sebagai senjata perjuangan untuk menghadirkan keadilan sosial.
KSPI menyerukan agar negara tidak tinggal diam. Negara harus hadir dan melindungi kebebasan pers dari segala bentuk ancaman dan teror. Karena itu, KSPI mendesak Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM, serta Komnas HAM untuk segera membentuk Tim Pencari Fakta Gabungan. Tim ini harus bekerja secara independen dan transparan untuk mengungkap siapa pelaku di balik teror ke kantor Tempo dan apa motif sesungguhnya.
“Tidak boleh ada pembiaran. Jika negara abai, maka akan menciptakan preseden buruk bahwa kekerasan terhadap pers adalah hal yang bisa ditoleransi. Ini sangat berbahaya,” ujar Iqbal.
KSPI juga menyayangkan pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang menanggapi kasus ini dengan kalimat “babinya dimasak saja.” Bagi KSPI, pernyataan ini sangat tidak etis, tidak berempati, dan justru memperkuat citra bahwa kekuasaan tak lagi peka terhadap nilai-nilai demokrasi.
“Ucapan tersebut menunjukkan sikap anti-demokrasi. Orang seperti itu tidak layak menjadi pejabat publik, apalagi di lingkungan Istana,” tegas Said Iqbal. KSPI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera memecat Hasan Nasbi dan memberikan contoh tegas bahwa pemerintah tidak mentolerir tindakan maupun ucapan yang meremehkan kebebasan pers.
Bagi gerakan buruh, pers yang bebas adalah salah satu alat perjuangan penting untuk menyuarakan ketimpangan sosial, upah murah, pelanggaran hak normatif, serta mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Karenanya, KSPI menegaskan komitmennya untuk selalu berdiri di sisi pers yang merdeka dan independen.
“Ketika pers dibungkam, suara buruh pun ikut dibungkam. Ketika pers diintimidasi, maka seluruh gerakan sosial berada dalam ancaman. Itulah mengapa buruh harus bersolidaritas membela kebebasan pers,” tutup Iqbal.
KSPI mengajak seluruh elemen gerakan sosial—buruh, mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat sipil—untuk menyatukan barisan melawan segala bentuk teror terhadap demokrasi. Hanya dengan bersatu, kita bisa menjaga ruang kebebasan dan memastikan suara rakyat tak pernah padam.