Terganggunya Hubungan Industrial Akibat Tingginya Intervensi Pemerintah

Terganggunya Hubungan Industrial Akibat Tingginya Intervensi Pemerintah

Medan,KPonline, – Hubungan Industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha dengan buruhnya disatu perusahaan pada hakekatnya seperti hubungan simbiosis mutualisme, hubungan antara dua organisme yang berbeda namun sama-sama mendapatkan keuntungan dan saling menguntungkan,kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan tetapi saling memberikan manfaat, seperti hubungan antara lebah dan bunga, lebah mendapat nektar dan bunga terbantu penyerbukannya oleh lebah

Demikian halnya hubungan antara pengusaha dengan buruhnya,”Pengusaha membutuhkan tenaga buruh untuk menjalankan roda perusahaan demi kelangsungan usaha dan perolehan laba, demikian juga buruh membutuhkan pengusaha guna mendapatkan pekerjaan dan upah untuk kesejahteraannya beserta keluarganya.

“Muara dari hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha dan buruhnya adalah kelangsungan, pertumbuhan dan perkembangan perusahaan”

Idealnya hubungan ini dibangun diatas prinsip Bipartit yang seimbang antara pengusaha dengan buruh tanpa melibatkan pemerintah, karena terganggunya hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha dengan buruhnya rata-rata disebabkan karena tingginya intervensi pemerintah.

Peran pemerintah sebagai regulator sekaligus wasit yang netral, dalam praktiknya berubah menjadi pemain, tidak lagi membatasi diri pada fungsi pengaturan dan pengawasan, tetapi ikut masuk ke ranah pengambilan keputusan strategis yang seharusnya menjadi domain antara pengusaha dan buruh melalui Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit, sebuah forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan buruhnya.

Melalui LKS Bipartit ini antara pengusaha dan buruhnya tanpa ikut campur tangan pemerintah dapat menentukan sendiri arah dan tujuan perusahaan serta besaran upah dan tingkat kesejahteraan buruhnya dan mengikatnya dalam sebuah kesepakatan.Dalam konteks hukum perdata kesepakatan merupakan hukum tertinggi dan berlaku seperti undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Tingginya intervensi pemerintah ini dapat dilihat pada

kebijakan yang bersifat top-down, seperti penetapan upah minimum, fleksibilitas tenaga kerja melalui undang-undang omnibus law, serta berbagai peraturan turunan lainnya, yang lahir tanpa mempertimbangkan aspirasi buruh serta kondisi riil di lapangan.

Intervensi pemerintah yang tinggi dan terkesan berlebihan mengakibatkan mekanisme dialog sosial mengalami kemunduran. Pengusaha dan buruh menjadi tidak mandiri dalam menyelesaikan perselisihan karena lebih memilih menunggu arahan atau keputusan pemerintah. Hal ini melemahkan budaya musyawarah serta mempertinggi potensi konflik karena solusi yang diambil tidak lahir dari kesepakatan bersama, melainkan dari keputusan sepihak pemerintah.

Lebih Ironis, intervensi pemerintah yang diklaim demi stabilitas ekonomi justru menciptakan ketidakpastian hukum. Regulasi berubah cepat mengikuti kepentingan politik dan investasi, bukan kebutuhan perlindungan buruh dan keberlanjutan usaha. Hal ini memicu resistensi dari kalangan buruh serta menimbulkan tekanan sosial yang berdampak pada penurunan produktivitas dan iklim usaha yang tidak sehat.

Ketika pemerintah terlalu berpihak pada kepentingan investasi, kebijakan yang dikeluarkan cenderung menguntungkan pengusaha besar dan modal asing. Sementara buruh semakin kehilangan instrumen perlindungan seperti pesangon, jaminan kerja, dan hak atas perjanjian kerja yang adil. Ketimpangan ini berpotensi menciptakan hubungan industrial yang eksploitatif dan tidak berkelanjutan.

Jika intervensi pemerintah ini terus dibiarkan, hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan akan kehilangan substansinya sebagai sistem yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan stabilitas sosial. Intervensi pemerintah yang tidak proporsional akan memicu konflik horizontal antara buruh dan pengusaha, serta konflik vertikal antara masyarakat dengan negara.

Tingginya intervensi pemerintah dalam hubungan industrial telah mengganggu keseimbangan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan serta melemahkan kemandirian para pihak dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.

Untuk mengembalikan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan tersebut, diperlukan komitmen dari buruh dan pengusaha untuk memaksa pemerintah agar kembali ke peran semestinya sebagai fasilitator dan penjaga keadilan sosial, bukan sebagai penentu sepihak.

Dialog sosial harus diperkuat, dan regulasi harus mengedepankan keadilan serta keseimbangan antara kepentingan pengusaha, buruh dan bangsa ini secara keseluruhan.

Terwujudnya hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan antara pengusaha dan buruh merupakan fondasi utama bagi peningkatan produktivitas.

Hubungan kerja yang kondusif ini menjadikan perusahaan untuk terus bertahan, tumbuh, dan berkembang secara berkelanjutan. Dampak positifnya tidak hanya dirasakan oleh para pihak secara langsung, tetapi juga memberikan kontribusi besar bagi negara, yang meliputi peningkatan pendapatan pemerintah, perluasan lapangan kerja, serta terciptanya stabilitas ekonomi yang lebih kokoh.

Sudah selayaknya pemerintah menyadari dan mengapresiasi peran strategis pengusaha dan buruh, serta memberikan penghargaan atas kontribusi nyata mereka dalam pembangunan ekonomi nasional. (Anto Bangun)