Tanggapan Untuk Menteri Hanif Dhakiri yang Meminta Buruh Tidak Lagi Demonstrasi

Jakarta, KPonline – Entah apa yang ada dalam pikiran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri. Dalam acara peluncuran album kedua aktivis reformasi, John Tobing di Sleman, Jumat (10/11/2017), Hanif Dhakiri menyinggung demo buruh.

Dalam acara itu, Hanif meminta aktivis buruh tidak lagi menyampaikan aspirasi dengan berdemo turun ke jalan. Melainkan melalui dialog dengan pendekatan seni dan budaya.

“Saat ini ruang politik sudah berubah menjadi semakin terbuka. Masyarakat bisa dengan mudah berkomunikasi dengan pemimpinnya. Rekan-rekan buruh bahkan bisa dengan mudah berkirim pesan menyampaikan ide-ide mereka ke saya setiap hari. Jadi melakukan demo sudah tidak relevan lagi,” kata Hanif.

Tentang pentingnya dialog, saya setuju. Asalkan dialog yang seimbang. Bukan hanya sekedar dialog, tetapi kemudian keputusan yang dibuat hanya mengakomodir kepentingan salah satu pihak.

Akan tetapi meminta buruh tidak lagi menyampaikan aspirasi dengan demo turun ke jalan, itu sama sekali tidak dibenarkan. Bukan saja karena Undang-Undang Kemersekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum masih berlaku, tetapi juga karena apa yang sampaikan Menteri Hanif mengandung bibit-bibit anti demokrasi.

Hanif lupa, justru pada point tentang dialog itulah yang menjadi kritik paling keras serikat buruh.

Demo buruh menentang PP 78/2015, salah satu dasar pemikirannya adalah karena penetapan upah minimum tidak lagi melalui mekanisme dialog di tingkat daerah yang melibatkan dewan pengupahan. Juga ada keterlibatan pemerintah daerah di sana.

Dengan PP 78/2015, kenaikan upah minimum ditentukan oleh pemerintah pusat melalui angka inflansi dan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS tidak pernah menanyakan kepada buruh, berapa nilai inflansi dan pertumbuhan ekonomi yang akan ditetapkan.

Keberadaan dewan pengupahan hanya sekedar formalitas. Kalau pun ada dialog, itu hanyalah sekedar basa-basi.

Kenyataannya, tak kurang dari Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat edaran agar para Gubernur menetapkan upah minimum sebesar 8,71persen, sesuai data BPS. Sudah ditetapkan. Seolah menutup mata, ada daerah yang inflasinya lebih tinggi. Yang upahnya masih murah.

Lalu Menteri Hanif mengatakan agar memilih jalan dialog ketimbang demonstrasi. Tetapi ruang dialog dalam forum tripartit dikebiri.

Buruh juga pernah menantang Menteri Hanif Dhakiri untuk melakukan dialog terbuka. Tetapi toh tidak pernah ada tanggapan.

Saya mendapatkan informasi, beberapa undangan untuk melakukan dialog dengan pemimpin buruh yang disiarkan secara langsung oleh TV Swasta juga tidak dihadiri oleh Menteri Hanif.

Beberapa kali, Menteri Hanif memang mengundang semacam acara jamuan makan malam di rumah dinasnya. Menurut salah satu teman yang hadir, ada sedikit diskusi, yang terkesan seperti basa-basi. Beberapa orang diberi kesempatan bicara, lalu makan-makan, dan kadang diselingi acara nyanyi-nyanyi.

Tetapi apakah kemudian tuntutan buruh teraplikasi dalam kebijakan? Belum tentu.

Acara seperti ini lebih terasa sebagai forum untuk “menjinakkan” ketimbang forum untuk mengambil keputusan.

Itulah sebabnya buruh meminta ada dialog terbuka. Mengapa harus dialog terbuka? Agar masyarakat mengetahui bagaimana substansi dari apa yang disampaikan. Memahami posisi masing-masing pihak, kemudian menyandingkan dengan putusan yang diambil oleh Pemerintah.

Turun ke jalan untuk menyampaikan mendapat masih tetap relevan, sampai kapan pun. Di berbagai negara maju, bahkan demonstrasi dan pemogokan umum tidak ditinggalkan.

Cara ini memang ditakuti oleh rezim. Buktinya, Menteri Hanif sampai mengeluarkan himbauan agar buruh tidak ada lagi demo. Kalau saja demo tidak berdampak, barangkali sang Menteri tak akan menganggap perlu untuk secara khusus mengomentari.