Tak Seharusnya Mereka di PHK

Bekasi, KPonline – Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di PT. Comeca Indonesia rupanya menuai protes dari sejumlah kaum buruh di Bekasi.

Perusahaan yang beralamat di kawasan Delta Silicon 5 Industrial Estate, jalan Kenari II Blok G1 B No 08 & 09 Lippo Cikarang, kabupaten Bekasi ini diduga sudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap beberapa karyawannya yang tergabung dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).

Terhitung sejak tanggal 23 Agustus 2021 ada 15 karyawan yang di PHK, di mana 12 orang yang di PHK adalah bagian dari anggota FSPMI. Mereka tak seharusnya di PHK.

Ironisnya saat melakukan mogok kerja, karyawan yang ter-PHK hanya sekedar untuk menumpang ke toilet pun dilarang. Hingga saat ini tenda perjuangan PUK SPEE FSPMI PT. Comeca Indonesia masih berdiri di depan perusahaan.

Menurut salah satu buruh Bekasi yang kebetulan datang untuk bersolidaritas menuturkan tindakan yang dilakukan perusahaan adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi. Dengan alasan efisiensi berani melakukan PHK terhadap karyawannya.

“Regulasinya sudah jelas tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana di dalamnya dijelaskan bahwa tidak boleh melakukan PHK dengan cara sepihak melainkan harus ada perundingan terlebih dahulu. Hal itu sudah cukup jelas ada di pasal 151 Undang-undang 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan,” ucapnya kepada Koran Perdjoeangan, Rabu (25/08/2021).

Menurutnya, pasal 151 ayat (1,2) sudah jelas harus bisa jadi landasan hukum namun yang terjadi malah ketentuan itu dilabrak sama pengusaha.

“Tidak menutup kemungkinan seluruh buruh yang tergabung dalam FSPMI akan mengepung perusahaan PT Comeca Indonesia. Bahkan kaum buruh Bekasi yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan ikut serta berdatangan untuk bersolidaritas kepada karyawan yang telah menjadi korban PHK sepihak,” imbuhnya tegas.

Dalam pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Selanjutnya, pasal 151 ayat (2) menjelaskan bahwa jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindarkan wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

“Aksi mogok kerja ini jelas kami lakukan sebagai bentuk penolakan PHK sepihak dengan dalih efisiensi, bahkan perusahaan akan berpatokan dengan Omnibus Law dengan mengunakan ketentuan pesangon 0,5 %,” kata salah satu karyawan yang di PHK.

Terlebih, semenjak lahirnya Undang-undang No 11 Tahun 2020 yang disebut Undang-undang Sapu Jagat (Omnibus Law/Cipta Kerja) hampir sudah ribuan buruh/pekerja menjadi korban keganasan dari regulasi tersebut. Gelombang PHK kerap terjadi, bahkan terus bergulir berdatangan dari setiap penjuru kota/kabupaten yang berbeda.

“Kami disini hanya berharap bisa dipekerjakan kembali karena semenjak tanggal 23 Agustus 2021 sudah tidak diperbolehkan lagi masuk perusahaan untuk bekerja, karena melihat proses produksi masih berjalan normal,” kilahnya.

Patut diduga PT. Comeca Indonesia terkesan akan melakukan pemberangusan Serikat Pekerja/Serikat Buruh(Union Busting) yang jelas-jelas melanggar Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pelerja/Serikat Buruh. juga beberapa regulasi lainnya yaitu Undang-undang dasar 1945 pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak setiap orang atas kebebadan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Tindakan PHK yang sewenang-wenang adalah salah satu bagian bukti nyata bahwa Omnibus Law sebagai drakula penghisap kesejahteraan kaum buruh karena begitu mudahnya perusahaan secara ugal-ugalan bisa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan cara sepihak kepada karyawannya.

Penulis : Jhole
Foto : Jajang S.