Tak Lagi Mengejar Dunia

Palembang, KPonline – Kedatangan saya disambutnya ramah. Saya dipersilakan masuk ke rumah yang terbuat dari kayu ini. Atapnya dari seng dan sudah berkarat. Menandakan jika rumah ini sudah sangat lama tanpa perbaikan. Tak lama kemudian, istrinya membuatkan kami kopi.

Mang Ali, demikian kami memanggilnya. Pekerjaannya sehari-hari adalah mengemudikan bentor. Ini adalah sebutan untuk becak motor. Alat transportasi hasil modifikasi antara becak dan motor.

Sehari-hari, dia biasa mangkal di perempatan tak jauh dari rumahnya. Sesekali ia juga mendapatkan orderan dari tetangga, yang memanggilnya melalui telepon nokia jadul, yang hanya bisa menerima dan mengirimkan pesan singkat.

“Wah, sudah canggih ya. Sadar teknologi, macam ojek online.” Kata saya.

Dia tersenyum.

“Nggak sekalian pakai ojek online?”

Dia menggeleng. Grab dan Gojek memang sudah ada di Palembang. Tetapi tempat tinggalnya jauh dari perkotaan. Tidak cocok untuk orang sepertinya yang tinggal di dusun. Lagi pula, ia hanya memiliki bentor.

“Mungkin perlu aplikasi ojek bentor.” Saya tertawa.

Dia menyeruput kopinya. Saya juga. Tempat duduk saya di dekat jendela. Seorang teman yang mengantarkan saya ke rumahnya memotret dari luar.

“Penghasilannya nggak tentu. Sehari bisa seratus ribu, bisa dua puluh ribu, bisa nggak dapet sama sekali,” ia kembali bercerita.

“Tetapi lebih sering di bawah lima puluh ribu,” lanjutnya.

Bekerja tanpa memiliki kepastian pendapatan seperti ini membuatnya harus bisa mengelola keuangan dengan baik. Tidak ada jaminan hari ini atau esok akan mendapatkan uang. Namun demikian ia percaya, Tuhan Maha Pengasih. Sepanjang ia mau berusaha, pasti akan ada hasilnya.

Berapapun penghasilan yang ia dapat, seluruhnya ia serahkan kepada istrinya.

“Jadi saya nggak pernah punya uang. Semua yang saya miliki adalah milik istri saya. Tetapi milik istri ya miliknya sendiri, hehe…” dia tertawa lebar.  Bercanda. Isterinya yang berada di dapur menoleh ke arah kami.

Kemudian dia menceritakan istrinya. Perempuan yang sangat dicintainya. Istrinya lah yang mengatur seluruh keuangan. Bahkan kehidupannya. Sesuatu yang membuatnya puluhan tahun serasa lebih muda.

Istrinya, perempuan berusia sekitar 40 tahun, selisih 20 tahun dengan usianya yang melewati 60 tahun.

Mereka menikah sekitar dua tahun yang lalu. Masih terbilang pasangan baru. Ali sebagai duda dengan tiga anak. Sedangkan istrinya masih perawan ketika menikah dengannya.

Mendengar kisah percintaannya, saya percaya bahwa cinta tak mengenal usia.

“Cukup dengan penghasilan segitu?” Tanya saya.

“Ukuran cukup itu ini,” katanya. Menepuk-nepuk perutnya.

Sepanjang masih bisa makan, ngopi, dan merokok, baginya sudah cukup. “Di usia saya yang sekarang, saya sudah merasa cukup dengan apa yang saya miliki.”

Apa yang dia miliki? Tak terlihat barang berharga di rumah. Tikar lusuh di atas lantai kayu. Rumahnya jenis rumah panggung. Seperti kebanyakan rumah yang lain di daerah ini, rumahnya berdiri di atas sungai. Tak ada meja dan kursi.

Dari air sungai itulah dia mandi dan mencuci baju. Sedangkan untuk keperluan memasak, harus membeli air bersih. Setiap sore biasanya ada penjual air dalam jirigen yang lewat. Ia harus menyisihkan sekian ribu untuk anggaran rutin membeli air.

Sesederhana itu hidupnya. Tetapu ia sudah merasa sangat bahagia. Saya teringat di Jakarta. Sudah bergaji besar, rumah dan mobil mewah, masih juga korupsi. Kalau perlu “memakan” temannya sendiri.

“Yang membuat kita tidak cukup itu keinginan. Padahal yang kita perlukan adalah apa yang kita butuhkan.” Dia membuka suara ketika terdiam cukup lama.

Saya tersenyum. Kecut. Merasa tersindir dengan ucapannya. Banyak orang yang mati-matian cari uang, tetapi kemudian dihabiskan untuk sesuatu yang sepenuhnya tidak terlalu dibutuhkan.

“Saya sudah tidak lagi mengejar dunia,” katanya. Dia menghisap rokoknya, kemudian melanjutkan kalimatnya yang tadi menggantung. “Saya sedang mengejar kehidupan di negeri akherat.”

Saya tersenyum. Bagaimanapun, Ali adalah sosok pekerja keras. Di usianya yang senja semangat masih menyala. Lelaki yang istimewa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *