Solidaritas Tak Lagi Sekadar Semboyan

Solidaritas Tak Lagi Sekadar Semboyan
Foto Ilustrasi | by Goggle

Angin pagi belum benar-benar hangat ketika gerbang pabrik itu kembali dipenuhi manusia. Suara sepatu, sandal jepit, dan obrolan pelan menyatu seperti mantra yang dibisikkan pada pagi buta. Diantara barisan itu, Darman berdiri kaku. Wajahnya menyimpan amarah yang telah ia tahan berhari-hari.

Darman bukan buruh biasa. Ia ketua serikat di pabrik multinasional itu, dimana tempat ribuan tangan bekerja, tapi hanya segelintir yang menentukan arah hidup mereka. Ia bukan orator, tapi ucapannya pernah membuat seorang manajer pabrik diam seribu kata.

Namun pagi itu, ia tak lagi berdiri sebagai ketua. Surat PHK telah dijatuhkan tiga hari lalu. Alasan perusahaan klise, yaitu pelanggaran dan ketidakcocokan visi. Tapi semua tahu, ia dipecat karena menolak kebijakan upah sepihak yang merugikan buruh.

Lebih menyakitkan, sekretaris serikat, Rini pun diberhentikan. Mereka seperti akar yang dipotong agar pohon tak tumbuh terlalu tinggi.

“Dar, kita tetap datang ya?” tanya Rini saat itu, matanya menantang pagi.

“Datang. Karena kita bukan dua orang. Kita ribuan.”

Gerbang pabrik hari itu seperti lautan. Karyawan dari berbagai divisi hadir. Tidak ada pengeras suara, tidak ada panggung. Hanya satu barisan panjang yang menolak masuk kerja.

Manajer HR mengamati dari balik kaca jendela. Ia tersenyum sinis.

“Paling-paling dua jam bubar”

Tapi dua jam berubah menjadi sehari, lalu dua hari. Para buruh menolak bekerja sampai pemecatan Darman dan Rini dicabut.

“Kenapa mereka ribut untuk dua orang?” tanya seorang supervisor.

“Karena dua orang itu suara mereka,” jawab buruh senior sambil menyalakan rokok.

Dan benar saja. Dari pabrik itu, solidaritas lahir bukan dari doktrin, melainkan dari luka yang sama. Mereka semua tahu rasanya ditinggalkan. Jadi ketika dua orang yang selama ini berdiri di depan akhirnya ditumbangkan, mereka memilih berdiri juga.

Kemudian, Malam harinya, Darman duduk di kontrakan 3×4 meter miliknya. Lantai semen retak, atap bocor di pojok, dan meja kayu lapuk dipenuhi tumpukan dokumen serikat yang sudah tak relevan lagi secara hukum. Tapi di sinilah semuanya dimulai.

“Besok kita bagaimana?” tanya Rini.

“Terus berdiri. Sampai mereka paham kita bukan papan catur,” kata Darman.

Rini tertawa kecil. “Dulu kita juga pernah ketakutan, ya?”

“Iya. Tapi kita belajar… bahwa takut tak mencegah ketidakadilan, hanya menundanya.”

Di sisi lain kota, anak-anak buruh pergi ke sekolah dengan sepatu bolong. Istri-istri mereka menyambung hidup dari utang warung dan kerja sambilan menjahit. Tapi setiap pagi, mereka tetap mengantar suami mereka ke gerbang pabrik.

Bahkan ada satu kejadian yang kemudian jadi cerita turun-temurun di kalangan buruh. Seorang ibu membawa termos teh dan nasi goreng ke depan pabrik.

“Buat siapa, Bu?” tanya petugas keamanan.

“Buat yang berdiri. Mereka juga butuh makan,” jawab si ibu sambil tersenyum.

Ia tak kenal siapa-siapa, tapi mengaku anaknya juga buruh, di tempat lain, dengan nasib yang sama. Itulah hari ketika para buruh sadar: perjuangan ini tak hanya milik mereka, tapi milik banyak orang yang tak terlihat.

Aksi berlanjut. Media mulai meliput. Pihak manajemen mulai panik. Produksi terganggu, distribusi macet, dan tekanan dari kantor pusat di Jepang mulai terasa.

Pertemuan darurat dilakukan. Tapi yang membuat direksi lebih kaget adalah ini, dimana aksi bukan hanya dilakukan di satu pabrik. Kabar pemecatan Darman dan Rini menyebar cepat ke pabrik-pabrik lain, bahkan lintas daerah. Dalam hitungan hari, spanduk solidaritas terbentang dari Bekasi hingga Purwakarta.

Buruh-buruh yang belum pernah bertemu pun berdiri bersama. Mereka menyebutnya “Aksi Cermin”. Ketika satu dilukai, yang lain merasakan.

Di fase selanjutnya, setelah pertemuan alot dan intervensi dari dinas tenaga kerja, manajemen akhirnya luluh. Mereka menawarkan mediasi terbuka.

“Dengan syarat aksi dihentikan,” kata salah satu manajer.

Tapi buruh menolak syarat itu.

“Mediasi jalan, aksi tetap. Itu bukan barter, itu prinsip.”

Dan akhirnya, Darman dan Rini diundang secara resmi untuk kembali berdiskusi. Bukan sebagai pekerja biasa, tapi sebagai representasi gerakan yang telah membuat pabrik itu, untuk pertama kalinya tak bisa mengabaikan suara lantai produksi.

Setelah semuanya reda, malam kembali ke kontrakan. Di sanalah, di bawah cahaya redup lampu 5 watt, Darman menuliskan sesuatu:

“Solidaritas bukan hanya berdiri bersama, tapi tetap berdiri saat semua hal memintamu duduk. Ia bukan slogan, tapi peristiwa. Bukan kata, tapi luka yang dijahit bersama”

Tulisan itu ia simpan di belakang kartu anggota serikat. Bukan untuk dikenang, tapi untuk diingatkan bahwa sejarah gerakan buruh tak pernah ditulis oleh satu orang, melainkan oleh tangan-tangan yang saling menguatkan.

Sebulan setelah mediasi, Darman dan Rini resmi dipekerjakan kembali. Status mereka dipulihkan. Tapi lebih dari itu, manajemen mulai membuka ruang dialog reguler dengan perwakilan buruh. Bukan karena takut, tapi karena mulai memahami bahwa tanpa keadilan, tak ada ketenangan.

Dan pada hari pertama Darman kembali kerja, ia berdiri sebentar di depan gerbang. Matanya memandang ke arah pos keamanan, ke tanah yang pernah jadi tempat berdiri ratusan orang itu.

Ia tersenyum kecil.

Bukan karena menang. Tapi karena tahu, mereka semua telah memilih untuk tidak diam.

Kini, setiap kali ada buruh baru bergabung, mereka tak hanya mendapat seragam dan ID card. Mereka juga diberi secarik kertas, berisi kutipan dari Darman:

“Di dunia yang penuh kepentingan, solidaritas adalah satu-satunya rumah yang tak perlu kunci untuk dibuka. Cukup hati yang bersedia bertanya, jika itu aku, apa yang kuharapkan dari dunia?”

Cerita itu terus diceritakan. Bukan untuk dikenang sebagai legenda, tapi untuk disambung sebagai warisan.

Karena di dunia buruh, kemenangan sejati bukan ketika satu orang diangkat, tapi ketika semua orang berdiri.

Solidaritas, pada akhirnya, bukan sekadar semboyan.

Ia adalah langkah kaki yang tak menyerah, tangan yang saling menggenggam, dan jiwa yang memilih untuk tidak pergi.

“Karena kita, tidak pernah sendiri.”