Pelalawan, KPonline- Sistem kerja outsourcing yang diterapkan di dua perusahaan raksasa industri kertas Asia, yakni PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Kabupaten Pelalawan dan PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) Perawang di Kabupaten Siak, kembali menuai sorotan tajam dari serikat pekerja. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Provinsi Riau, Satria Putra, menyebut sistem ini telah menjadi momok mengerikan bagi para buruh yang menggantungkan nasibnya di dua perusahaan besar tersebut.
Menurut Satria, buruh-buruh yang direkrut melalui sistem outsourcing adalah korban utama dari ketidakpastian kerja. Mereka hanya dianggap sebagai alat produksi sementara, tanpa kepastian status, tanpa jaminan masa depan, dan kerap dipindahkan atau diberhentikan sewaktu-waktu tanpa perlindungan yang layak. “Mereka bekerja di perusahaan kelas dunia, tetapi nasib mereka jauh dari sejahtera,” ujar Satria dalam keterangan persnya, Selasa (2/7).
Sistem outsourcing di PT. RAPP dan PT. IKPP dinilai hanya menguntungkan pihak perusahaan, karena dapat menekan biaya operasional dengan mengorbankan hak-hak dasar buruh. Banyak dari buruh outsourcing tidak mendapatkan kepastian kerja, hak cuti, jaminan kesehatan penuh, hingga upah yang jauh dari standar kelayakan. “Padahal perusahaan-perusahaan ini merupakan bagian dari konglomerasi Asia Pacific Resources International Holdings (APRIL Group dan APP Group), yang disebut-sebut sebagai salah satu industri kertas terbesar di Asia,” tegas Satria.
Praktik outsourcing di sektor kehutanan dan industri kertas ini telah berlangsung bertahun-tahun. Namun, sorotan semakin tajam dalam beberapa tahun terakhir karena peningkatan jumlah tenaga kerja yang direkrut melalui vendor atau perusahaan penyedia jasa alih daya. Buruh-buruh ini umumnya bekerja dalam posisi krusial seperti operator, mekanik, supir, hingga tenaga produksi, tetapi tanpa status sebagai karyawan tetap perusahaan induk.
Salah satunya di site kerja PT. IKPP Perawang, di mana pekerja outsourcing bahkan tidak memiliki ruang untuk menyuarakan keluhannya. Sementara di lingkungan kerja PT. RAPP Pelalawan, buruh outsourcing kerap mendapatkan tekanan untuk bekerja melebihi jam normal tanpa upah lembur yang layak. Hal ini turut ditegaskan oleh Ketua Konsulat Cabang FSPMI Kabupaten Pelalawan, Yudi Efrizon, yang menyebut perbedaan kesejahteraan antara karyawan tetap dan outsourcing bagaikan bumi dan langit.
“Jika dilihat perbandingan kesejahteraan buruh outsourcing dengan karyawan langsung dari kedua perusahaan ini sangat timpang, baik dari pemenuhan hak maupun fasilitas. Kian hari semakin miris kondisinya, perusahaan yang notabene telah bersertifikasi internasional namun masih banyak terdapat pengangkangan hak pekerja dan masyarakat di dalamnya,” ungkap Yudi. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terkait keselamatan dan kesehatan kerja (K3). “Belum lagi isu K3 yang telah merenggut nyawa pekerja, namun tidak ada tindakan atau sanksi tegas dari Dinas Tenaga Kerja maupun Aparat Penegak Hukum. Ada apa sebenarnya?” tegasnya penuh tanya.
DPW FSPMI Riau bersama seluruh elemen FSPMI di tingkat daerah akan terus mendorong dialog antara serikat pekerja, pemerintah, dan manajemen perusahaan untuk menyuarakan penghapusan sistem kerja outsourcing, terutama di lini-lini produksi utama. Mereka juga membuka opsi aksi unjuk rasa dan advokasi hukum jika perusahaan dan pemerintah tetap membiarkan praktik eksploitatif ini berlangsung. “Kami tidak akan diam. Pekerja punya hak untuk hidup layak dan bekerja dalam kondisi yang manusiawi,” pungkas Satria.