Bogor,KPonline – “Bang, besok ulang tahun FSPMI ke-19 apakah ke Jakarta?” Tanya salah seorang anggota Garda Metal melalui aplikasi pesan berbasis online kepadaku. Tidak langsung kujawab.
“Kita aksi kan ya bang? Ane boleh numpang sama PUK abang nggak?” Kembali dia bertanya dan aku tak sanggup untuk menjawab.
Dia salah seorang anggota Garda Metal yang cukup aktif. Selalu hadir di setiap aksi yang dilakukan organisasi. Kalaupun dia berhalangan, dia selalu konfirmasi ketidak hadirannya. Satu lagi yang membuatku takjub dan heran, dia sudah tidak bekerja dan tidak mempunyai PUK.
PUK dimana ia bernaung, sudah “melipat bendera” FSPMI. Sudah bangkrut perusahaannya. Dengan pesangon sebesar 2 PMTK, dia memulai usaha dengan perusahaan jasa transportasi berbasis online. Ojek online nama bekennya.
Terus bagaimana jika ada aksi di suatu kawasan industri, atau ada aksi mogok kerja atau aksi unjuk rasa di suatu PUK ? Dia selalu hadir. Berdiri paling depan dengan mengenakan seragam PDL Garda Metal kebanggaannya.
Lalu, jika ada aksi solidaritas di suatu PUK, bagaimana dengan pendapatannya sebagai ojek online? Memang ada beberapa kawan sesama anggota Garda Metal yang perhatian dan peduli dengan keadaannya. Bagaimana dengan yang tidak peduli dan tidak perhatian? Banyak. Dan seharusnya jangan kalian tanyakan hal itu, karena bisa saja, aku, kamu dan kalian termasuk kawan-kawan buruh yang sepertinya kurang peduli dan kurang memperhatikan hal-hal yang seperti itu. Miris bukan ?
Dengan mengikuti aksi-aksi atau bentuk solidaritas yang lainnya, tentu saja itu akan “membuang waktu” dari kawan kita tersebut. Dan sudah pasti akan berimbas terhadap pendapatannya sebagai Ojek Online.
Bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana dengan istri dan anak-anaknya? Bagaimana dengan masa depannya? Pernahkah kita memikirkannya? Sekali saja!
Kembali kubuka ponsel cerdas berbasis Android milikku. Kulihat lagi pesan yang masuk.
“Iya, bang. Besok kita ke Jakarta. Sekarang FSPMI ulang tahunnya pake aksi demo dan unjuk rasa. Biar kekinian bang.” Aku balas pesan yang dia kirimkan.
5 detik kemudian dia membalas kembali. “Boleh nggak bang, ane numpang sama PUK abang?” Dengan sedikit gemetar, kusentuh layar ponsel cerdas milikku, seraya membalas pesannya.
“Boleh Bang,” singkat saja.
Karena sebenarnya, hati kecilku tidak mengizinkan kawanku itu. Bukan tanpa alasan tentunya. Karena aku memikirkan, jika besok kawanku itu ikut aksi ke Jakarta, bagaimana dengan pendapatannya sebagai ojek online?
Jempol tangan kanan tiba-tiba saja bergerak menyentuh layar ponsel. Tanpa diperintah oleh otak, seakan bergerak dibawah alam sadar.
Kutuliskan, “Kalo abang ikut aksi ke Jakarta, pendapatan abang gimana? Nggak ada pemasukan dong? Buat makan sama buat orang rumah gimana Bang?”
Terkirim!
Kenapa harus aku tulis hal-hal itu? Kenapa juga harus terkirim? Achh, sial!
Aku merasa tidak enak hati sama abang itu. Aku seperti meremehkan dia. Ya, aku peduli dan memperhatikan abang itu, tapi kalau dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup bodoh seperti itu, aku merasa tidak enak hati.
Sudah pasti, kawanku itu merencanakan dengan baik jika ikut aksi ke Jakarta nanti. Pasti itu. Tapi bagaimana jika ternyata, aku juga salah dengan dugaan yang aku buat.
Dan pesan pun berbalas.
“Biar Tuhan yang mengatur rezeki dan jalan hidup ane, bang.”
Seketika itu juga, linangan air mata membasahi pipiku.