Seberang Istana, Pergerakan Pelaut Indonesia, dan Payung Hitam

Jakarta, KPonline – Sore itu, Kamis (24/8/2017) ketika saya tiba di depan Istana, belum banyak orang yang datang dalam Aksi Kamisan. Karena itu, saya memilih untuk terlebih dahulu bergabung dengan ratusan orang dari Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI). Mereka sedang menggelar aksi di depan pintu masuk Monas, tak jauh dati Taman Pandang.

Setiap kali mengikuti aksi di Istana, saya selalu teringat dengan lagu Iwan Fals, Siang di Seberang Istana.

“Sombong melangkah istana yang megah/ Seakan meludah di atas tubuh yang resah/ Ribuan jerit di depan hidungmu/ Namun yang kutahu…./Tak terasa terganggu.”

Dalam aksinya, para pelaut ini mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi tentang pengupahan pelaut Indonesia. Menurut mereka, hingga saat ini masih banyak pelaut Indonesia yang diupah di bawah Upah Minimum.

Selain itu, gaji yang rendah, mereka juga menghadapi berbagai permasalahan lain. Seperti PHK sepihak, gaji tidak dibayar, maraknya calo pelaut nakal, penggunaan dan peredaran ijasah kepelautan palsu, bahkan diskriminasi terhadap pelaut wanita.

Dalam orasinya, para pelaut ini mengkritik birokrasi yang berbelit-belit dalam kepengurusan dokumen kepelautan, serta masih tumpang tindihnya regulasi yang mengatur penempatan dan perlindungan pelaut Indonesia.

Karena itulah, selain mengenai pengupahan, PPI juga mendesak pemerintah untuk menerbitkan regulasi satu pintu tentang penempatan dan perlindungan pelaut; melakukan tindakan untuk menghentikan diskriminasi terhadap pelaut wanita; memberantas pengguna dan pengedar ijasah pelaut palsu; serta meratifikasi konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pengerjaan di bidang Perikanan.

Saya terkesima mendengar tuntutan mereka. Apa yang mereka tuntut sangat dekat dengan apa yang sering disampaikan serikat pekerja. Tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi para pekerja di manufaktur. Sesuatu, yang juga diserukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Saya rasa, dengan permasalahan yang sama sepertinya, memang seharusnya elemen gerakan rakyat bersatu. Tidak lagi berjuang secara serektoral. Sendiri-sendiri.

Jarum jam hampir mendekati pukul 16.00 wib, ketika para pelaut membubarkan diri.

Saya bergeser ke sebelah, bergabung dengan Aksi Kamisan.

Aksi Kamisan ke 503 (Foto: Kahar)

Ini adalah kali pertama saya berada di tengah aksi yang identik dengan payung hitam. Ya, sudah lebih dari lima ratus kali aksi digelar, dan saya baru pertamakali ini datang.

Saya rasa, ini aksi yang direncanakan dan dikemas dengan sangat baik. Payung hitam dipersiapkan, dan setelah aksi, dikembalikan dengan rapi. Begitu juga media untuk aksi, seperti poster dan spanduk.

Peserta aksi, terdiri dari para orang tua dan anak-anak muda. Laki-laki dan perempuan. Mereka hadir dari berbagai organisasi yang berbeda.

Orator menyampaikan orasi secara bergiliran. Tak hanya menghujat. Tetapi juga menyampaikan pendapat, gagasan, juga kritik dengan bernas.

Janji untuk menegakkan HAM tak juga terealisasi. Mereka yang diduga melanggar HAM berat di negeri ini tak kunjung diadili. Bahkan ironisnya, Presiden Joko Widodo justru menjadikan orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM sebagai Menteri. Tindakan ini, tentu saja menyakitkan.

Di tengah ketidakpastian itu, tiba-tiba Presiden menerbitkan Perppu Ormas. Banyak pihak menilai, Perppu Ormas menjadi pintu masuk Pemerintahan Otorider dan anti kritik. Mematikan demokrasi.

Dengan Perppu Ormas, mereka yang vokal dan kritis terhadap pemerintah, yang memiliki ide atau gagasan berbeda dengan pemerintah, bukan tidak mungkin akan dipidana.

Itulah sebabnya, hanya ada satu pilihan: mendesak agar Perppu Ormas segera dicabut!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *