Satu Suara, SP/SB Se Jawa Timur Akan Penuhi Jalanan Surabaya Selama Empat Hari

Sidoarjo,KPonline -Buruh Jawa Timur bereaksi keras terhadap terbitnya Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/783/KPTS/013/2021 tertanggal 20 November 2021 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2022 yang hanya sekitar Rp 700 perhari.

Jika pada tanggal 22 November lalu hanya FSPMI saja yang turun kejalan maka pada 25,26,29 dan 30 November ,Seluruh Elemen SP / SB Se Jawa Timur akan turut turun melakukan aksi Demonstrasi besar besaran ,mereka bersatu dan bergabung dalam satu Aliansi bernama GASPER (Gerakan Serikat Pekerja) Jawa Timur terdiri dari KSPSI, KSPI, KSBSI, SARBUMUSI, FSPMI, FSP LEM-KSPSI, FSP KEP-KSPI, FSP RTMM-KSPSI, FSP TSK-KSPSI, FSP KAHUT-KSPSI, FSP KEP-KSPI, FSP KAHUTINDO, FSP FARKES RES-KSPI, FSP PPMI-KSPSI, FTA KSBSI, NIKEUBA-KSBSI, LOMENIK-KSBSI, PD FSP PAR SPSI, PD F SPBPU KSPSI, PD FSP TSK-KSPSI, FSP PPMI-KSPI, FSP NIBA-KSPSI, HUKATAN-KSBSI, FKUI-KSBSI, dan KIKES-KSBSI .

Bacaan Lainnya

Mereka akan melakukan aksi massa besar-besaran untuk melawan kebijakan politik upah murah .

Puncak aksi dilakukan pada hari Senin tanggal 29 November 2021 dengan melibatkan 50.000 massa aksi pekerja/buruh seluruh Jawa Timur. Aksi ini akan dipusatkan di Kantor Gubernur Jawa Timur dan Gedung Negara Grahadi. Tidak menutup kemungkinan aksi akan dilakukan di jalan-jalan protokol di Kota Surabaya jika Gubernur Jawa Timur tetap angkuh dan mengabaikan aspirasi serikat pekerja/serikat buruh Jawa Timur.

Hal tersebut disampaikan hari ini 24 November 2021 dalam Rapat Konsolidasi GASPER di Sidoarjo yang diikuti oleh seluruh Elemennya .

Melalui juru bicara Gasper P Apin Sirait,Jazuli dan M Fauzi menyampaikan bahwa Tuntutan GASPER Jawa Timur adalah:

1. Menolak dengan tegas penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Timur tahun 2022 yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/783/KPTS/013/2021 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Timur tahun 2022.

a. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Timur tahun 2022 yang hanya sebesar Rp. 22.790,- atau hanya sebesar 1,2% menunjukkan Gubernur Jawa Timur tidak peka terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Jawa Timur khususnya buruh yang terdampak akibat pandemi Covid-19. Kenaikan UMP Jawa Timur tahun 2022 sebesar Rp. 22.790,- tersebut setara dengan uang Rp. 500,- perharinya yang nilainya lebih besar dari pemberian seorang dermawan kepada orang yang meminta-minta di pinggir jalan.

b. Kenaikan UMP tahun 2022 yang hanya 1,2% dibawah inflasi Provinsi Jawa Timur yang sebesar 1,92% ini artinya upah buruh tergerus inflasi yang mengakibatkan daya beli buruh menurun. Selain itu buruh juga tidak menikmati pertumbuhan ekonomi yang tumbuh hingga 7,07% sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada saat Pidato Kepresidenan penyampaian RUU APBN 2022 beserta Nota Keuangan tanggal 16 Agustus 2021 yang lalu.

2. Gubernur Tidak Boleh Diintervensi Pemerintah Pusat Dalam Menetapkan Upah Minimum di Daerahnya.

Kewenangan Gubernur Jawa Timur untuk menetapkan upah minimum baik itu UMP maupun UMK yang diamanatkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sudah diubah dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan kewenangan yang tidak perlu intervensi Menteri Ketenagakerjaan maupun Menteri Dalam Negeri. Sejatinya Gubernurlah yang mengetahui kondisi sosial dan ekonomi di wilayahnya masing-masing.

3. Gubernur Jawa Timur harus mengakomodir aspirasi publik

Sebelum membuat/memutuskan sebuah kebijakan Gubernur wajib mendengar dan mengakomodir aspirasi publik. Dalam penetapan upah minimum secara kelembagaan ada yang Namanya Dewan Pengupahan baik ditingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi.

Dewan Pengupahan ini wujud dari Sila ke-4 (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan) yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, perwakilan organisasi Pengusaha dan perwakilan serikat pekerja/serikat buruh. Meskipun dalam regulasinya penetetapan upah minimum ini sudah ada formulasi dan data perekonomian dari BPS, tetap harus melalui pembahasan atau musyawarah mufakat di Dewan Pengupahan.

Hal ini lah yang membedakan seorang Pejabat publik dengan ‘mesin Kalkulator’. Diharapkan pejabat publik memiliki kepekaan sosial dalam membuat kebijakan, tidak sekedar memasukkan data dalam formulasi kemudian diputuskan sepihak.

4. Gubernur Jawa Timur Ingkari Komitmen Politik.

Gubernur Jawa Timur mengingkari komitmen politik yang dituangkan dalam Berita Acara Rapat Dengar Pendapat pada tanggal 14 Oktober 2021 di DPRD Provinsi Jawa Timur yang dihadiri oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur sebagai perwakilan Pemerintah, Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur, BPS Provinsi Jawa Timur dan perwakilan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Jawa Timur.

Yang mana dalam Berita Acara tersebut menyebutkan bahwa dalam penetapan upah minimum tahun 2022 yang berkeadilan selain menggunakan mekanisme yang tertuang dalam PP No. 36 Tahun 2021 juga mempertimbangkan mekanisme Penetapan Upah Minimum tahun-tahun sebelumnya.

Ini artinya Gubernur tidak harus mengikuti SE Menaker yang menyesatkan dan memiskinkan buruh tersebut. Namun faktanya Gubernur mengabaikan aspirasi publik dengan menetapkan UMP Jawa Timur tahun 2022 hanya berpatokan terhadap PP No. 36 Tahun 2021.

5. Tetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebesar 13%

Kenaikan 13% tersebut berdasarkan pertumbuhan ekonomi (year on yer) Jawa Timur tahun 2021 sebesar 7,07% dan asumsi pertumbuhan ekonomi RAPBN tahun 2022 sebesar 5,8%, sehingga total sebesar 12,87% atau dibulatkan sebesar 13%.

6. Wujudkan Upah Minimum Yang Berkeadilan

a. Bagi Perusahaan yang mampu membayar lebih besar dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), maka Gubernur WAJIB memfasilitasinya dengan menetapkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) atau Upah Minimum Unggulan (UMU) bagi perusahaan-perusahaan tertentu.

b. Bagi Perusahaan yang tidak mampu membayar upah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), maka Gubernur WAJIB memberikan dispensasi melalui penangguhan pembayaran UMK.

7. Gubernur Jawa Timur TIDAK KONSISTEN Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan

Gubernur Jawa Timur lebih takut terhadap Surat Edaran Menteri ketimbang Intruksi Presiden. Dengan dalih adanya regulasi baru UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo PP No. 35 Tahun 2021 tentang Pengupahan terhadap penetapan upah minimum yang tidak boleh dilanggar.

Namun dalam pemenuhan hak atas Jaminan Sosiak buruh, Gubernur mengabaikan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional jo UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional jo UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS jo PP No. 86 Tahun 2013 tentang Sanksi Administratif.

Dalam inspres tersebut mengamatkan kepada Gubernur untuk memberikan sanksi terhadap Perusahaan yang belum mendaftarkan buruhnya kepada BPJS. Faktanya sudah 4 (empat) tahun Inpres tersebut diterbitkan, tetapi di Jawa Timur tidak ada satu pun Perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya keapda BPJS yang diberikan sanksi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan, terdapat 3.975 perusahaan dengan total 19.063 buruh dan lebih dari 50 ribu keluarga buruh yang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Hal ini akan semakin membuat buruh termiskinkan dengan upah murah dan ketika sakit harus berobat dengan biaya sendiri.

(Khoirul Anam)

Pos terkait