Sampai Kapan Menjadi Penumpang?

Graphic1Oleh: Kahar S. Cahyono
Dalam tulisan terdahulu, saya sudah menuliskan apa saja yang menjadi landasan pikir tentang pentingnya kaum buruh mendirikan kekuatan politik alternatif (baca: Saatnya Membangun Kekuatan Politik Alternatif). Selanjutnya, saya juga menyampaikan tentang unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi dalam membangun kekuatan alternatif itu (baca: Unsur-unsur Pembangun Kekuatan Politik Alternatif). Sekarang, mari kita membahas apa yang ada dalam pikiran Boing tentang tahapan dalam mendirikan partai politik.

.

Bacaan Lainnya

UPAYA UNTUK membangun partai politik, kata Boing dalam Seminar tentang Politik Buruh yang diselenggarakan KSPI, sebaiknya diawali dengan membuat ormas sebagai organisasi payung. Ormas inilah yang akan menyatukan seluruh element gerakan rakyat kedalam wadah nasional yang terstruktur sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ini sekaligus tempat untuk menguji soliditas sekaligus mempersiapkan segala sesuatu dalam pendirian partai.

“Nggak mungkin tiba-tiba kita ketemu dan membikin partai,” ujar Boing. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Terlebih dahulu harus dilakukan penyamaan persepsi dan membicarakan program alternatif yang akan dilakukan.

Ia menegaskan. “Kita nggak mau program umumnya mengabdi kepada kepentingan neoliberalisme, seperti yang dilakukan oleh partai-partai yang ada pada hari ini.”

Pembangunan ormas untuk mematangkan konsep ekonomi, sosial, politik, dan budaya sebagai jalan keluar dari persoalan Indonesia adalah langkah awal. Langkah selanjutnya, jika semuanya sudah siap, ormas inilah yang nantinya akan bertransformasi menjadi partai politik. Menjadi alat untuk merubah sistem ekonomi politik di negara ini.

Dengan memiliki alat politiknya sendiri, kaum buruh memiliki harapan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat bisa diwujudkan. “Tetapi kalau yang kita lakukan adalah menitipkan kader ke partai milik orang lain, jangan harap bisa berbuat banyak,” demikian Boing memberikan gambaran.

Intinya, setiap tahapan dari pendirian partai politik harus dipersiapkan dari bawah. Sebab kalau partai ini didirikan oleh cukong, tidak akan mungkin bisa membuat perubahan. “Dibalik bantuan yang mereka berikan pasti ada harapan partai ini akan melindungi kepentingan ekonomi mereka,” tegasnya.

Ia menegaskan sekali lagi, sekarang lah saatnya kaum buruh menyusun formasi politiknya. Dengan catatan, buruh harus merangkul kekuatan rakyat yang lain. Ini bisa dimulai dengan berbagi ide dan gagasan tentang perubahan, dari versi kaum buruh. Tanpa alat politik, mimpi dan cita-cita kaum buruh memiliki keterbatasan. Buruh tidak bisa membuat Undang-undang. Paling banter hanya bisa membuat draft tandingan lalu mengawal aspirasi dengan melakukan aksi.

“Jika terus-menerus melakukan itu, selamanya gerakan buruh hanya dianggap sebagai tukang demo,” katanya.

Sebelum melangkah jauh, pendidikan untuk kaum buruh penting untuk dilakukan. Ini bisa dilakukan dengan memperbanyak bahan bacaan. Kemudian menjadikan sosial media sebagai alat propaganda yang efektif.

“Pendidikan untuk buruh harus bisa memberikan jawaban terhadap persoalan hari ini. Ambil contoh tentang neoliberalisme. Ketika Negara tidak lagi menggunakan perannya untuk memberikan perlindungan kepada rakyat dan sekedar menjadi wasit. Semua diserahkan kepada pasar. Kondisi seperti ini harus diturunkan dalam bentuk pendidikan untuk kaum buruh. Tidak cukup lagi hanya memberikan pemahaman tentang perundang-undangan, PKB, teknik bernegoisasi dan sebagainya,” ia memberikan penjelasan panjang lebar.

Pendidikan yang dilakukan harus mengandung perspektif idiologis. “Neoliberalisme harus dihapus. Dihilangkan. Negara yang kita inginkan adalah negara yang betul-betul ‘heroik’ dengan membuat aturan hukum yang berpihak kepada rakyat yang banyak,” tegasnya.

Dalam kesempatan tanya jawab, seorang peserta bertanya. “Apakah tidak ada alternatif lain selain mendirikan partai politik?”

Dengan tenang ia menjawab. “Kita juga punya pengalaman membuat legal drafting. Dan ternyata legal drafting yang kita buat tidak dimasukkan dalam undang-undang. Kita pernah melakukan aksi besar untuk mendorong disahkannya sebuah Undang-undang. Tetapi pelaksanaannya jauh dari harapan. Karena yang menentukan adalah mereka. Yang menentukan adalah partai politik melalui wakilnya di legislative. Serikat buruh tidak memiliki wakil disana. Oleh karena itu, pilihannya hanya satu, buruh harus punya partai.”

Boing menutup seminar itu dengan sebuah pertanyaan. Singkat saja pertanyaan itu, tetapi memancarkan seribu harap.

“Apakah alat politik kita masih numpang ke orang lain, atau kita miliki alat politik sendiri?”

Dengan memiliki alat politik sendiri, akan ada orang yang duduk di ruang-ruang pengambil kebijakan untuk menjalankan tugas dari kita. Bukan kepanjangan tangan dari mereka. (*)

.

*) Bagian ketiga dari tiga tulisan.

.

Catatan: Tulisan ini merupakan inti dari pemaparan Ilhamsyah (Ketua Umum SBTPI) dalam Seminar Nasional tentang Politik Buruh yang diselenggarakan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang diselenggarakan di Hotel Grand Cempaka pada tanggal 5 Februari 2015. Sebelum seminar diselenggarakan, terlebih dahulu diadakan launching buku Gagasan Besar Serikat Buruh yang ditulis oleh Presiden KSPI Said Iqbal

Pos terkait