Saat Orang Bijak Tak Mudah Marah, Walaupun Dikecewakan

Saat Orang Bijak Tak Mudah Marah, Walaupun Dikecewakan

Disebuah desa yang sunyi, hiduplah seorang lelaki tua bernama Pak Raji. Warga desa menyebutnya “Orang Bijak dari Rawa mekar.” Bukan karena ilmunya yang tinggi, tetapi karena hatinya yang lapang seperti langit.
Pagi itu, Pak Raji datang ke balai desa, memenuhi undangan seorang pemuda bernama Dani yang berjanji akan mengembalikan uang pinjaman untuk keperluan ibunya yang sakit. Namun, Dani tidak muncul. Tak ada kabar, tak ada pesan.

Beberapa warga yang melihat Pak Raji menunggu hingga matahari tinggi, mulai geram.

“Pak Raji, kalau saya yang dipermainkan begitu, sudah saya datangi rumahnya!” celetuk Ujang, tukang becak setempat.

Tapi Pak Raji hanya tersenyum kecil. “Kalau kita marah saat dikecewakan, kita hanya menambah satu masalah baru. Saya tidak mau kehilangan kedamaian karena kecewa”.

Keesokan harinya, Dani datang tergopoh-gopoh ke rumah Pak Raji. Wajahnya pucat. Ia memohon maaf sambil menahan tangis. Ternyata, ibunya kembali dirawat dan ia harus menjual motornya untuk biaya rumah sakit.

“Saya sudah siap dimarahi, Pak,” lirih Dani.

Pak Raji menepuk bahunya pelan. “Kemarahan tidak bisa mengobati luka siapa pun. Tapi maaf bisa membuka pintu pengertian. Kau sudah cukup menderita, Nak”.

Kisah Pak Raji tersebar luas. Tidak karena ia mengamuk atau menuntut haknya, tapi karena ia memilih sabar di tengah kekecewaan. Di zaman yang cepat tersinggung dan mudah tersulut emosi, ia menjadi oase yang menenangkan.

“Kadang orang mengira diam itu lemah,” katanya suatu hari, “padahal diam bisa jadi tanda hati yang sangat kuat”.