Walkout DPR di Pelantikan UPI: Bahasa Inggris Jadi Pemicu Kemarahan

Walkout DPR di Pelantikan UPI: Bahasa Inggris Jadi Pemicu Kemarahan

Pelantikan Rektor UPI Prof. Didi Sukyadi pada Senin 16 Juni 2025 di Gedung Auditorium Ahmad Sanusi, Bandung, berubah menjadi drama ketika Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal memilih walkout. Penyebabnya, sumpah jabatan yang dibacakan dalam bahasa Inggris: “I swear to faithfully carry out my duties as the Rector of Universitas Pendidikan Indonesia to the best of my abilities, uphold the constitution, and serve the nation and the people of Indonesia with integrity”.

Tindakan ini dianggap melanggar Pasal 36 UU Nomor 24 Tahun 2009, yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam acara resmi kenegaraan. “UPI telah menghina identitas bangsa. Bahasa Indonesia adalah harga diri kita!,” ujar Cucun dengan nada geram.

Bahasa Indonesia bukan sekadar bahasa, tetapi simbol persatuan dan kedaulatan bangsa. Sebagai universitas negeri, UPI memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi contoh dalam menjaga nilai-nilai nasionalisme. Cucun menegaskan bahwa penggunaan bahasa Inggris dalam sumpah jabatan mencerminkan sikap yang tidak menghargai perjuangan para pendiri bangsa yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu. “Ini bukan soal formalitas, ini soal identitas nasional yang harus kita junjung tinggi,” tambahnya.

Kemudian, menurut Wahyu Hidayat, sebagai Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) sekaligus ketua Partai Buruh Purwakarta dan pendiri Spirit Binokasih menyampaikan bahwa demi Garuda di dada, Eko-Erwin, dua aktifis buruh FSPMI yang merupakan rekan Wahyu harus tervonis, terhukum walau bukan hukuman badan oleh pengadilan yang kemudian memicu judicial review UU 24/2009 sehingga penggunaan lambang negara dengan maksud tidak untuk merendahkannya menjadi diperkenankan dan tidak terkena delik termasuk penggunaan lambang Garuda Pancasila di dada.

Wahyu berpendapat bahwa konteks sumpah menggunakan bahasa Inggris berbeda dengan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi, yang sering menggunakan bahasa Sunda dalam pidato-pidatonya, tidak dianggap melanggar hukum. Pidato-pidatonya, seperti dalam acara budaya “Nganjang ka Warga,” berada di luar konteks acara resmi kenegaraan dan dilindungi oleh Perda Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang pelestarian bahasa daerah. Kang Dedi memanfaatkan bahasa Sunda untuk memperkuat ikatan budaya dengan masyarakat Jawa Barat, bukan untuk menggantikan bahasa Indonesia.

Wahyu Hidayat menilai polemik ini sebagai cerminan ego akademik UPI yang berlebihan. “UPI harus introspeksi. Dari masalah dana hibah yang menuai kritik hingga penilaian terhadap Kang Dedi Mulyadi yang dangkal, mereka gagal melihat sisi transendental KDM. Kepemimpinannya mengedepankan nilai budaya dan spiritual yang tidak dipahami oleh kritik akademik,” ujarnya. Wahyu meminta UPI untuk fokus pada pembentukan generasi yang mencintai bangsa, bukan memicu kontroversi yang merusak citra institusi.

Polemik ini harus menjadi panggilan untuk dunia pendidikan. Bahasa Indonesia adalah jiwa bangsa, bukan sekadar alat komunikasi. UPI harus menunjukkan komitmen nyata terhadap nasionalisme dan menghindari tindakan yang dapat memecah belah persatuan. Bangsa ini membutuhkan keteladanan, bukan drama yang melemahkan identitas nasional.

Foto: Ilustrasi/Detik.com