Impor Ugal-ugalan, Ancaman PHK Massal di Depan Mata

Impor Ugal-ugalan, Ancaman PHK Massal di Depan Mata

Purwakarta, KPonline – Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menghantui sektor industri nasional, terutama setelah maraknya keluhan dari para pelaku usaha mengenai impor barang yang tak terkendali. Kebijakan pemerintah dalam regulasi impor, khususnya melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, dinilai menjadi faktor utama yang memperparah krisis sektor manufaktur dan tekstil nasional.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyuarakan keprihatinan mereka atas meningkatnya jumlah pengangguran yang mengancam buruh akibat penurunan drastis produksi. Dan mereka pun menegaskan bahwa bila tidak ada intervensi pemerintah yang serius, gelombang PHK bisa terjadi secara massal.

“Industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan produk impor murah. Jika terus dibiarkan, bukan hanya pabrik yang tutup, tapi jutaan buruh akan kehilangan mata pencahariannya,” ujar Wahyu Hidayat, Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) FSPMI Kab. Purwakarta kepada Media Perdjoeangan. Senin, (16/5/2025).

Berdasarkan data API, lebih dari 30 ribu pekerja tekstil telah kehilangan pekerjaan sepanjang tahun 2024, sebagian besar akibat lesunya industri yang tak mampu bersaing dengan produk impor dari Tiongkok, Vietnam, dan Bangladesh.

Banyak analis mengaitkan krisis ini dengan meningkatnya volume impor tekstil jadi yang tak dibarengi dengan perlindungan terhadap industri lokal. Dan menyebut bahwa pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan impor yang justru membuka celah bagi masuknya barang konsumsi secara besar-besaran, tanpa memperhatikan daya saing industri lokal.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan menyatakan tengah meninjau ulang kebijakan impor menyusul meningkatnya kritik dari berbagai asosiasi industri dan serikat pekerja. Menteri Perdagangan sendiri mengakui adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan pasar dan produksi dalam negeri, namun meminta waktu untuk memperbaiki sistem pengawasan.

Serikat buruh dan pelaku industri menuntut langkah konkret seperti pengendalian kuota impor, pengetatan pengawasan pelabuhan, dan penyesuaian tarif bea masuk agar tidak terjadi dumping.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang terancam melambat, tetapi juga stabilitas sosial akibat melonjaknya angka pengangguran.