Saat Hak Terabaikan, Unjuk Rasa Adalah Jalan Perlawanan

Saat Hak Terabaikan, Unjuk Rasa Adalah Jalan Perlawanan

Purwakarta, KPonline – Serikat buruh tak pernah berdiri hanya untuk nama. Ketika satu hak buruh dicederai, ketika satu anggota diperlakukan semena-mena, maka derap langkah perlawanan akan terdengar. Dimanapun, kapanpun yaitu unjuk rasa (Demonstrasi) yang sebetulnya bukan tujuan, melainkan bentuk protes terakhir saat pintu dialog tertutup.

Sejarah panjang gerakan buruh menunjukkan satu hal yang pasti, dimana “serikat buruh tidak akan tinggal diam saat hak-hak dasar pekerja diabaikan”. Dari pemotongan upah sepihak, pemutusan hubungan kerja tanpa alasan yang sah, hingga kriminalisasi pengurus serikat, semuanya menjadi alasan sah untuk turun ke jalan.

“Demonstrasi bukan sekadar aksi massa, melainkan bahasa terakhir yang kami gunakan ketika suara kami tidak didengar di ruang rapat,” ujar Fuad BM, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta.

Hak yang Diabaikan, Demonstrasi yang Dilakukan

Dalam dua bulan terakhir, tercatat lebih dari 15 aksi demonstrasi yang digelar oleh berbagai serikat buruh di Jabodetabek. Mayoritas aksi tersebut dilakukan karena hak normatif buruh tidak dipenuhi. Kasus paling umum adalah:

* Pemotongan upah

* Tidak dibayarkannya tunjangan hari raya (THR)

* Penolakan perusahaan mengangkat karyawan kontrak menjadi tetap meskipun masa kerja sudah melebihi batas

* PHK sepihak terhadap pengurus serikat pekerja

Sebagai contoh: Dalam kasus PT Y di salah satu kawasan industri di kabupaten Bekasi misalnya, yaitu PHK terhadap Pengurus serikat pekerja. Dimana, Ketua dan Sekretaris diberhentikan dengan alasan sudah sesuai dengan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Namun investigasi menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja itu bertepatan setelah para pengurus aktif menyuarakan tuntutan kenaikan upah pekerja yang sesuai dengan peraturan.

Serikat pun langsung menggelar aksi solidaritas di depan pabrik. Tuntutannya jelas yaitu pekerjakan kembali atau bersiap hadapi gelombang aksi lanjutan.

Demonstrasi Bukan Tujuan, Tapi Akibat

Serikat pekerja memahami pentingnya dialog sosial. Bahkan, sebagian besar organisasi buruh memulai perjuangannya lewat jalur bipartit atau tripartit. Namun, ketika jalan itu buntu, maka demonstrasi (unjuk rasa) menjadi konsekuensi logis.

Menurut data dari FSPMI yang saat ini berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), lebih dari 70% demonstrasi buruh di tahun 2024 hingga pertengahan tahun 2025 terjadi setelah proses mediasi gagal atau diabaikan oleh pihak perusahaan.

“Kami selalu mencoba menyelesaikan masalah lewat negosiasi. Tapi jika suara kami terus-menerus dianggap angin lalu, kami akan membawa suara itu ke parlemen jalanan,”.

Perlawanan Adalah Nafas Perjuangan

Demonstrasi bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga cermin kesadaran kolektif kelas pekerja. Di jalanan, buruh tak hanya menuntut keadilan bagi dirinya, tetapi juga untuk sesama pekerja yang tak mampu bersuara.

Dalam berbagai aksinya, serikat buruh juga membawa isu-isu nasional seperti:

* Penolakan terhadap UU Cipta Kerja
* Tuntutan kenaikan upah minimum
* Perlindungan terhadap buruh perempuan dan pekerja kontrak
* Penghentian kriminalisasi terhadap pengurus serikat

Demonstrasi menjadi momen konsolidasi, edukasi, dan solidaritas. Karena itu, banyak perusahaan merasa “terguncang” saat serikat-serikat buruh menyatukan kekuatan dalam satu gerakan besar.

Pemerintah Diminta Tidak Anti-Kritik

Serikat buruh juga menyoroti sikap pemerintah dan aparat yang kerap menekan aksi-aksi demonstrasi dengan dalih “mengganggu ketertiban umum atau bahkan mengganggu investasi”. Padahal, dalam negara demokrasi, menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi undang-undang.

“Kami bukan kriminal, kami adalah buruh yang memperjuangkan hak. Kalau hak kami dipenuhi, untuk apa kami turun ke jalan?” kata Asep Rukmana, pengurus serikat buruh otomotif di Bekasi.

Serikat adalah Benteng Terakhir

Bagi banyak buruh, serikat pekerja adalah satu-satunya tempat mereka menggantungkan harapan ketika keadilan terasa mahal. Maka, ketika anggota atau hak-haknya diabaikan, tak ada pilihan lain selain menyalakan obor perlawanan.

Demonstrasi hanyalah satu dari sekian banyak alat perjuangan. Namun, ketika suara dibungkam, ketika kesepakatan tak dijalankan, dan ketika hak-hak dasar diinjak, maka jalanan menjadi ruang sah untuk bersuara.

“Selama masih ada ketidakadilan, Diam tertindas, atau bangkit melawan”