Bogor, KPonline – Gerakan buruh di Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan yang besar. Akan tetapi kekuatan yang besar tersebut belum dapat terorganisir menjadi satu kekuatan yang terpadu secara politis, akhirnya gerakan buruh kerap menjadi ajang pemanfaatan bagi kepentingan-kepentingan elite.
Gerakan yang bertopang pada basis massa ini terkonversi menjadi ihwal kuantitatif bagi kepentingan elite. Karena tidak bisa dipungkiri lagi, gerakan buruh telah menjadi penyangga bagi partai-partai politik tertentu.
Angka yang riil tentang jumlah anggota pada setiap pabrik diberbagai daerah, misal, menjadi “senjata” yang digunakan partai politik tertentu saat memprotes kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Oleh sebab itu, sudah saatnya gerakan buruh beranjak kepada tahap penguatan politik dengan terjun secara langsung ke ranah politik.
Beberapa tahun ini gerakan buruh “go politic” dengan cara berpartisipasi menjadi calon legislatif (bahkan calon pemimpin) melalui partai-partai politik sudah mulai berjalan, maka ke depan gerakan buruh harus menunjukan kemandiriannya melalui partai
politiknya sendiri yaitu partai buruh.
Berbicara partai buruh, tentu kita tahu bahwa partai buruh pernah dibentuk Muchtar Pakpahan pada 28 Agustus 1998 dan sempat mengikuti kontestasi Pemilu 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Kini partai buruh tersebut pun hadir kembali dan pada Kamis (9/9/2021) mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) FSPMI yang berada di Cisarua-Bogor, Jawa Barat.
“Rakernas sudah selesai. Maka partai buruh akan melanjutkannya ke Kongres,” pungkas Presiden FSPMI Riden Hatam Aziz.
Riden pun melanjutkan, sebagai negosiator dan penggerak di lapangan, eksistensi serikat buruh dalam gerakan buruh tidak boleh berubah.
“Kemudian, bagi para pemimpin buruh yang duduk di partai buruh, akan bertugas sebagai legislator. Membuat aturan-aturan yang berpihak kepada buruh, mempermudah gerakan buruh dalam meraih kesejahteraannya,” sambung Riden.
Contoh; tentang peraturan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK) dan soal status hubungan kerja. Nah, itu nanti menjadi tugas mereka yang akan duduk melalui partai di legislasi-legislasi, di eksekutif-eksekutif. Jelas Riden.
“Berbagi peran, namun pada prinsipnya karena kami berada di working class. Maka kami kelas buruh, kelas petani, kelas nelayan, kelas miskin desa, kelas miskin kota, fokus dari partai buruh yang nanti sudah bisa ikut Pemilu dan duduk di parlemen, kami akan fokus terhadap kaum-kaum tersebut,” tutup Riden Hatam Aziz.