Pemerintah kembali menggulirkan rencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Kebijakan ini memicu kegelisahan dan dirasakan sebagai pukulan berat, terutama bagi kaum buruh yang selama ini sudah nombok hidupnya akibat upah yang diterima tak mencukupi kebutuhan hidup.
Ya, kenaikan PPN akan menciptakan beban tambahan.
PPN adalah pajak yang dibebankan pada konsumen. Bebannya lebih terasa oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang menghabiskan proporsi pendapatan lebih besar untuk kebutuhan pokok. Kenaikan PPN menjadi 12%, itu artinya, harga-harga kebutuhan akan melonjak.
Di saat yang sama, dalam beberapa tahun ini kenaikan upah minimum tidak sebanding dengan laju inflasi. Jika PPN dinaikkan, buruh akan menghadapi kenyataan pahit: upah stagnan, harga-harga naik, dan kesejahteraan makin tergerus.
Jika kita periksa, argumen utama pemerintah untuk menaikkan PPN adalah untuk menambah penerimaan negara. Namun, hal ini perlu kita pertanyakan lebih tajam.
Sahabat saya, ekonom Gede Sandra dari Partai Buruh mengatakan, “Kenaikan tarif PPN sebelumnya dari 10 persen ke 11 persen di tahun 2022 yang lalu bukannya menaikkan malah menurunkan penerimaan PPN.”
Berdasarkan data dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (audited), Gede menunjukkan bahwa setelah tarif PPN dinaikkan dari 10% ke 11% kenaikan penerimaan PPN dari tahun 2022 ke tahun 2023 malah hanya sebesar Rp 60 triliun.
Turun dari kenaikan PPN di era tarif PPN masih berlaku tarif lama 10%, seperti tahun 2021 ke 2022 yang sebesar Rp 130 triliun, atau tahun 2020-2021 sebesar Rp 96 triliun, ataupun juga tahun 2017-2018 yang sebesar Rp 67,8 triliun.
Menurut Gede, fenomena ini pertanda bahwa kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% malah membuat rakyat mengurangi konsumsinya, sehingga konsisten dengan situasi saat ini di mana daya beli rakyat menengah ke bawah yang anjlok.
“Maka jika tarif PPN kembali naik dari 11% ke 12%, yang mungkin terjadi adalah kembali turunnya penerimaan PPN karena daya daya beli rakyat yang semakin anjlok,” ujarnya.
Saya sependapat dengan bung Gede. Beban pajak yang terlalu tinggi dapat menekan konsumsi domestik, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika daya beli masyarakat turun, konsumsi akan menurun, dan pada akhirnya pelaku usaha, terutama UMKM, akan terkena dampaknya.
Sebagai negara dengan struktur ekonomi yang masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, kebijakan ini kontraproduktif. Alih-alih mempercepat pemulihan ekonomi, kenaikan PPN justru berpotensi memperlambatnya. Dengan masyarakat yang lebih memilih menahan belanja karena harga yang meningkat, perputaran ekonomi pun melambat, dan imbasnya banyak buruh akan dipecat.
Ada banyak cara yang lebih adil untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat kecil. Salah satunya adalah dengan memperbaiki sistem perpajakan yang ada, termasuk menutup celah penghindaran pajak yang kerap dilakukan oleh perusahaan besar. Transparansi dan pengawasan yang lebih ketat dalam pengumpulan pajak dari kelompok ekonomi atas juga dapat menjadi solusi.
Pemerintah juga seharusnya lebih serius dalam memberantas kebocoran anggaran. Penghematan belanja negara, terutama di sektor yang tidak produktif, akan memberikan ruang fiskal yang cukup besar untuk mendukung kebutuhan belanja publik tanpa harus membebani rakyat.
Dalam konteks ini, tax amnesty mustinya tidak lagi diberlakukan. Di mana logikanya, pajak untuk masyarakat kecil dinaikkan, sedangkan pada saat yang sama konglomerat pengemplang pajak justru diampuni?
Sebagai buruh, saya memahami bahwa pajak adalah sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk pembangunan. Namun, keadilan dalam perpajakan adalah prinsip yang harus ditegakkan. Jangan sampai rakyat kecil terus menjadi korban kebijakan fiskal yang tidak berimbang, sementara kelompok elite menikmati berbagai fasilitas dan insentif.
Kelas pekerja membutuhkan kebijakan yang mengeluarkan mereka pada kesulitan, bukan yang menambah beban. (*)
Kahar S. Cahyono, Vice President FSPMI dan KSPI