Pokja Buruh Perempuan: Stop Berlomba Mengorbankan Buruh!

Jakarta, KPonline – Pada tanggal 1 November 2017 lalu, pemerintah Indonesia secara serentak menetapkan Upah Minimum Provinsi. Karena berpatokan dengan PP 78/2015, maka kenaikan upah buruh tidak lebih dari 8,71%. Di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan menetapkan UMP 2018 sebesar Rp 3.648.035. Gelombang penolakan datang dari berbagai unsur Serikat Buruh.

Tidak perlu studi berkepanjangan, secara kasat mata upah sebesar itu tidak akan cukup untuk kehidupan buruh lajang apalagi satu keluarga di Jakarta. Dalam hal ini, kami POKJA Buruh Perempuan turut menolak keputusan kenaikan upah buruh berdasar PP 78/2015* karena PP tersebut menghilangkan unsur penting dari perumusan upah yaitu standar Kebutuhan Hidup Layak.

Bacaan Lainnya

Kenaikan upah rendah, ternyata masih belum cukup bagi para pengusaha. Beramai-ramai melalui APINDO, pengusaha mendesak pemerintah untuk menetapkan standar khusus upah bagi sektor padat karya, sehingga lebih rendah lebih murah. Sejak muncul kembali wacana upah padat karya pada November 2016 lalu, akhirnya pada Agustus 2017, Pemerintah Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Purwakarta, Depok dan Bogor telah mengeluarkan SK yang secara khusus mengatur upah sektor garmen lebih rendah dari standar upah masing-masing kota. Namun tidak hanya di sektor garmen, buruh sektor padat karya lainnya seperti pengolahan kulit, tekstil, alas kaki dan rumah sakit / klinik juga ikut menanggung dampak upah padat karya.

Pengaturan upah murah sektor padat karya akan memiliki problem kekerasan berbasis gender yang serius. Hal ini dikarenakan sektor padat karya adalah sektor yang didominasi perempuan dan seringkali mereka adalah tumpuan keluarga. Kemudian kebijakan upah murah akan memperkecil ruang berserikat sehingga menjadi lahan subur bagi pelanggaran hak buruh perempuan.

Pindah pabrik atau PHK adalah ancaman yang seringkali digunakan oleh pengusaha untuk menekan upah buruh. Alih-alih ditentang, Pemerintah justru mengamini dan mendorong hal tersebut berjalan mulus. Tidak cukup dengan PP 78/2015, pemerintah mengeluarkan kebijakan upah padat karya.

Sebagai Serikat Buruh dan Organisasi Perempuan kami juga patut bercuriga terhadap pengorbanan hak buruh selanjutnya, yaitu mekanisme penangguhan upah. Bukan hal baru bagi sektor padat karya. Perusahaan – perusahaan di KBN Cakung DKI Jakarta “memperjuangkan” hal tersebut di tahun 2013 sehingga mengakibatkan upah buruh garmen di KBN Cakung berada di bawah UMP pada tahun 2014 dan 2015.

Kebijakan upah padat karya yang sekarang dikeluarkan untuk Jawa Barat adalah ancaman bukan hanya buruh di Jawa Barat, akan tetapi di Jakarta dan seluruh Indonesia. Perjuangan melawan upah padat karya adalah perjuangan menyelamatkan hidup kita, dan kehidupan generasi mendatang.

Oleh karena itu kami, POKJA Buruh Perempuan menyatakan “STOP Berlomba Mengorbankan Hak Buruh” dan menuntut kepada pemerintah untuk :

1. Cabut PP 78 tahun 2015

2. Cabut SK yang mendiskriminasi Upah Padat Karya. Pemerintah juga harus segera membuat Tim Khusus (Panitia Kerja) until merumuskan standar Upah Layak Nasional agar tidak ada lagi kebijakan upah yang diskriminatif bagi buruh.

3. Hapuskan mekanisme penangguhan upah

4. STOP segala kebijakan atau peraturan apapun yang mengorbankan kepentingan buruh.

5. Pemerintah perlu meningkatkan kinerja untuk melakukan pengendalian harga di pasaran, karena bahkan sebelum peningkatan upah harga-harga sudah melambung seperti kenaikan tarif dasar liatrik, air, PAM harga sewa tempat tinggal buruh, termasuk biaya pendidikan dan kesehatan.

Jakarta, 9 November 2017

Narahubung :
1. Jumisih – Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) – 08561612485
2. Mutiara Ika Pratiwi – Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika – 085647735174
3. Ajeng P Anggraini – Ketua Serikat Pekerja Garmen Mandiri (SPGM) FSUI – 087781030813
4. Natalia – Federasi Gabungan Serikat Buruh Mandiri (FGSBM) – 081210136283

Pos terkait