Pemerintah Mulai Khawatir Gugatan Tax Amnesty Dimenangkan Buruh

Jakarta, KPonline – Hari ini, Rabu (14/9), kaum buruh kembali melakukan aksi unjuk rasa di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendesak agar UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dicabut. Aksi ini merupakan sikap konsisten buruh untuk menolak kebijakan yang merugikan rakyat kecil, sekaligus memastikan Hakim MK tetap bersikap independen. Apalagi pemerintah terlihat mulai panik, ketika beberapa waktu lalu Presiden dikabarkan memanggil Hakim MK. Pemeanggilan itu diduga untuk membicarakan perihal judicial review Tax Amnesty yang saat ini tengah diproses MK.

Presiden KSPI Said Iqbal yakin akan memenangkan gugatannya. Dia menyebutkan, sejak awal, Pemerintah sudah sesat dalam berpikir ketika merumuskan UU Pengampunan Pajak.

Bacaan Lainnya

“Pada dasarnya, pajak bersifat memaksa sesuai amanah UUD 45 pasal 23A. Karena sifatnya yang memaksa, bagi mereka yang mengemplang pajak harusnya dijatuhi sanksi. Bukannya malah diampuni.

Pasal 2 dan 3 UU Tax Amnesty yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak telah melanggar UUD 45 dan memperlihatkan ketertundukan negara dihadapan pengemplang pajak. ,” tegasnya.

Berikut bukti jika negara lebih tunduk para pengusaha dan konglomerat hitam yang mengemplang pajak. Jika dengan UU Pengampunan Pajak Pemerintah berharap uang yang diparkir di luar negeri yang besarnya Rp 11.450 triliun akan pulang kampung dengan tebusan rendah 1 – 6 % (untuk deklarasi sampai dengan 31 Desember 2016), tax amnesty berbanding terbalik dengan tujuan itu. Mengapa tidak melalui penegakan hukum dengan menarik pajak penghasilan sebesar 30 %? Maka, dari Rp 11.450 triliun akan berpotensi menerima Rp 3.435 triliun. Andai tingkat keberhasilannya hanya 10 % penerimaannya pun masih relatif besar, mencapai Rp 343,5 triliun. Jauh lebih besar dari ekspektasi Rp 165 triliun, yang itu pun masih jauh dari realisasi.

Kemudian Iqbal menegaskan, “Yang wajib dan jelas-jelas ada sanksi saja tidak dijalankan, apalagi cuma-cuma? Tidak ada jaminan dana tax amnesty dan repatriasi akan permanen di Indonesia. Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang telah menerapkan tax amnesty, dana yang masuk hanya sementara guna mengejar pengampunan pajak atau Surat Sakti Pajak, kemudian keluar lagi. Kita bisa melihat Argentina dan India sebagai satu contoh.”

Menurut Iqbal, kaum buruh berkepentingan dengan penerimaan negara melalui pajak. Dengan penerimaan negara yang cukup, maka pembangunan bisa berjalan. Negara mempunyai uang untuk melakukan subsidi dan memberikan jaminan sosial, serta yang terpenting: tidak perlu berhutang. Karena itulah buruh tidak keberatan meskipun tiap bulan upahnya dipotong untuk pajak. Tetapi ironisnya, para pengusaha dan konglomerat hitam yang tidak taat bayar pajak, justru diampuni. Seharusnya pemerintah melakukan reformasi pajak & fiskal dengan memerhatikan prinsip-prinsip rule of law, equality of law, dan keadilan sosial.

Setiap warga negara setara di hadapan hukum. Tetapi tax amnesty bersifat diskriminatif. Sebelumnya pemerintah telah memberikan Tax Allowance (kelonggaran pajak) melalui PP no 52 tahun 2011 yang memfasilitasi modal asing dengan memberikan kelonggaran pajak sebesar 5 % per tahun selama 6 tahun. Dengan adanya tax amnesty, negara semakin paradoks, di satu sisi ingin meningkatkan penerimaan negara dari pajak, tetapi di sisi lain memberikan kelonggaran pajak bagi pemodal asing. Ini akan berdampak pula pada persaingan pasar domestik. Ada potensi perusahaan domestik akan kalah bersaing dan berujung pada terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran.

“Senasib dengan buruh, pengusaha mikro-kecil, dan menengah selalu ditarik pajak. Secara umum, UU Pengampunan Pajak tidak adil bagi masyarakat Indonesia yang selalu patuh bayar pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, dan pajak atas bunga bank. UU Pengampunan Pajak yang mengampuni pengusaha besar adalah bukti ketidakadilan pemerintah dalam memandang objek pajak,” kata Iqbal. (*)

Pos terkait