Pembatalan Omnibus Law Akan Jadi Kado Terbaik di HUT RI ke 75

Jakarta,KPonline- Hari ini bangsa Indonesia melakukan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-75 dengan suasana yang berbeda dari biasanya, sebab masih dalam masa pandemi virus corona Covid-19.

Tidak Ada upacara bendera yang meriah, panggung yang megah dan tak ada semarak perlombaan-perlombaan yang biasanya menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan HUT Kemerdekaan.

Bacaan Lainnya

Mungkin hanya satu hal yang tidak berubah, arti dan rasa Kemerdekaan yang semakin Hari kian tak bermakna. Banyak rakyat yang merasa mereka belum merdeka seutuhnya. Pendidikan yang mahal, akses pelayanan kesehatan yang buruk, harga kebutuhan pokok yang melambung, tarif listrik, BBM yang mencekik, lapangan pekerjaan yang justru diambil alih oleh orang asing. Membuat rakyat seolah-olah “merasa terjajah” dan menjadi tamu dirumahnya sendiri.

Ironisnya, penjajahan tersebut justru dilakukan oleh negara melalui kebijakan-kebijakanya. Alih-alih mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara seolah-olah hanya hadir untuk kepentingan pemodal dan segelintir elite.

Contoh terbaru yaitu terkait dengan sikap pemerintah dan DPR yang tetap ngotot untuk mengoalkan Rancangan Undang-Undang Omnibuslaw. Rancangan undang-undang kontroversial yang ditolak oleh berbagai elemen masyarakat.

Yang terbaru Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan Presiden dan DPR untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Pasalnya, diduga ada pelanggaran prosedur dan prinsip hukum serta berpotensi melanggar hak.

Hal ini selaras dengan sikap dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang juga menolak Omnibuslaw. Selain Muhammadiyah dan NU, suara penolakan Omnibuslaw sudah jauh jauh hari lantang disuarakan oleh Serikat Pekerja, Penggiat Lingkungan Hidup, Petani termasuk Mahasiswa.

Sebelumnya Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyerahkan surat dan kajian akademik terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada pimpinan DPR. Muhammadiyah menilai RUU Cipta Kerja bertabrakan dengan ideologi Pancasila, serta mengandung pemikiran atau konsep yang mencerminkan pembangkangan konstitusional.

Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan pandangan ini merupakan hasil dari tiga kali pertemuan PP Muhammadiyah dengan para pakar.

Pertemuan pertama, digelar di gedung Pusat PP Muhammadiyah di Jakarta Pusat, pertemuan kedua berupa forum group discussion (FGD) di Magelang, Jawa Tengah. Forum kedua ini diikuti oleh 40 dekan Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum dari seluruh Indonesia serta para pakar. Adapun pertemuan ketiga dilakukan melalui webinar yang juga dihadiri Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Sementara NU sendiri menilai RUU Omnibus Law Hilangkan Tanggung Jawab Negara kepada Warganya seperti yang dilansir dihalaman website resmi mereka nu.or.id.

Hal tersebut juga ditegaskan melalui pernyataan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) M Maksum Machfoedz menyebut RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang saat ini tengah dalam pembahasan di DPR penuh dengan kezaliman terhadap rakyat kecil. Menurut dia, pembahasan RUU tersebut seharusnya dihentikan.

“Jelas sekali bahwa RUU Cipta Kerja ini sarat dengan aneka kezaliman, kalau sarat dengan aneka kezaliman, tentu tidak harus dilanjutkan,” kata dia dalam diskusi online yang disiarkan YouTube Kanal Pembaruan Agraria, Selasa (28/4).

Penolakan lebih keras datang dari kelas pekerja, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengaku marah terhadap kebijakan pemerintah yang membuat draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dalam lingkup Omnibus Law.

Iqbal bahkan menyentil pemerintah dengan menyebut “tidak memiliki otak” karena kebijakannya yang dinilai mendiskreditkan kaum pekerja. “Gak ada otaknya itu pemerintah dan pengusaha, kamu boleh kutip itu,” ujarnya.

Bukan tanpa alasan Iqbal berujar demikian, Pasalnya, menurut Iqbal ada tiga prinsip pekerjaan yang dihilangkan oleh pemerintah dalam RUU ini, yaitu kepastian kerja (job security), kepastian upah pekerja (income security), dan kepastian jaminan sosial (sosial security).

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, ada hal lain yang mendesak untuk dilakukan ketimbang membahas omnibus law. Salah satunya adalah menyusun strategi untuk mencegah darurat PHK.

“Selain terdapat banyak persoalan yang kemudian ditolak oleh berbagai elemen masyarakat karena mendegradasi tingkat kesejahteraan, omnibus law didesain sebelum pandemi. Dengan demikian, omnibus law bukan solusi untuk mengatasi pendemi,” kata Said Iqbal.

“Saat ini yang lebih mendesak dari omnibus law adalah darurat PHK,” lanjutnya.

Jika hampir semua komponen masyarakat menyatakan penolakan terhadap Omnibuslaw, maka tidak ada alasan bagi pemerintah dan DPR sebagai wakil rakyat untuk melanjutkan pembahasan Omnibuslaw.

Jika hal ini dilakukan, maka Pembatalan Omnibuslaw akan menjadi kado terbaik di HUT RI ke 75. Semoga..

Pos terkait