Paket Kebijakan Ekonomi VI Soal Kawasan Ekonomi Khusus, Makin Merugikan Buruh

Jakarta,KPOnline – Rilis OPSI terhadap Paket Ekonomi Jilid VI

Paket Kebijakan Ekonomi VI telah dirilis oleh Pemerintah. Salah satu paket kebijakan ekonomi tersebut adalah tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Ada 9 insentif atau manfaat yang diberikan pemerintah untuk para Investor di KEK tersebut. Ke 9 insentif tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah yang akan ditandatangan Presiden. Saat ini sudah ada delapan KEK yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yakni Tanjung Lesung (Banten), Sei Mangkei (Sumatera Utara), Palu (Sulawesi Tengah), Bitung (Sulawesi Utara), Mandalika (NTB), Morotai (Maluku Utara), Tanjung Api-Api (Sumatera Selatan) dan Maloi Batuta Trans Kalimantan/MBTK (Kalimantan Timur).

Salah satu point insentif dari 9 insentif yang diberikan pemerintah tersebut berbunyi : “Di KEK dibentuk Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit Khusus, yang diwakili oleh satu Forum SP/SB dari setiap perusahaan, pengesahan dan perpanjangan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di KEK, serta perpanjangan Ijin Menggunakan Tenaga kerja Asing (IMTA) di KEK.”

Dari point Insentif tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikritisi yaitu :

1.    Adalah suatu hal yang perlu dipertanyakan ketika point insentif untuk investor di KEK tersebut menyatakan tentang Pembentukan Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit Khusus, yang diwakili oleh satu Forum SP/SB. Seharusnya pembentukan Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit di KEK diperlakukan sama dengan pembentukan Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit di wilayah kawasan industry lainnya sehingga fungsi dan peran Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit di KEK sama dengan fungsi dan peran Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit di wilayah kawasan industri lainnya.
Apakah memang Dewan Pengupahan dan LKS Tripartite menjadi penghalang bagi investor di KEK sehingga perlu adanya Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit Khusus yang diwakili oleh satu Forum SP SB?  Menurut saya hal tersebut sangat berlebihan dan seharusnya pemerintah tidak memberikan insentif seperti ini.

2.    Bahwa kehadiran Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit Khusus yang diwakili oleh satu Forum SP SB tersebut berpotensi mempengaruhi Hubungan Industrial di tempat kerja dan berpotensi terjadinya pengebirian fungsi dan peran SP SB di tempat kerja. Bahwa dengan adanya Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit Khusus dalam satu forum SP SB maka terjadi sentralisasi SP SB yaitu di dalam Forum SP SB tersebut. Sentralisasi ini membuat seluruh SP SB yag ada harus patuh pada putusan Forum SP SB tersebut.  Bahwa adanya sentralisasi peran dan fungsi SP SB ini bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang SP SB.

3.    Bahwa akibat adanya sentralisasi tersebut maka akan memudahkan terjadinya kontrol terhadap peran kedua lembaga tersebut (Dewan Pengupahan dan LKS Tripartit) oleh pemerintah dalam hal penentuan upah dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi di tempat kerja. Bahwa adanya kontrol terhadap peran kedua lembaga tersebut akan memandulkan fungsi-fungsi kedua lembaga tersebut, sehingga akan merugikan buruh di KEK nantinya.

4.    Bahwa terkait Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Ijin Menggunakan Tenaga kerja Asing (IMTA) yang khusus diatur di KEK, maka hal tersebut berpotensi membuka peluang lebih mudah bagi rekrutmen TKA di KEK. Bila rekrutmen TKA dibuka lebih luas maka hal ini menjadi ancaman bagi pekerja Indonesia untuk bisa bekerja di KEK. Seharusnya perlakuan terhadap TKA disamakan juga dengan TKA di kawasan industry lainnya. Perlakuan khusus TKA di KEK ini berpotensi melanggar ketentuan TKA di UU no. 13 Tahun 2003 (diatur di Pasal 42 sampai 49).

5.    Bahwa dari uraian di atas OPSI menilai Paket Kebijakan Ekonomi VI tidak berbeda jauh dengan Paket Ekonomi IV, yang kedua sangat merugikan buruh. Harapan buruh mendapatkan dukungan pemerintah guna meningkatkan kesejahteraanya (daya beli) di Paket Kebijakan Ekonomi ternyata hanya isapan jempol semata. Berbagai paket kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah tersebut hanya memposisikan buruh sebagai obyek penderita dari pembangunan ekonomi.

6.    Bahwa kehadiran insentif ini akan berpotensi menambah lebih massif protes buruh terhadap kebijakan pemerintah Jokowi, setelah Formula kenaikan Upah Minimum yang dilegitimasi PP Pengupahan masuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi IV.  
 
OPSI menolak dengan tegas insentif di KEK terkait dengan masalah ketenagakerjaan tersebut. Insentif ini sudah melanggar ketentuan UU No. 21 Tahun 2000 dan UU No, 13 tahun 2003. Oleh karena itu OPSI mendesak agar pemerintah mencabut point insentif ini dari Paket Kebijakan Ekonomi ke VI.
 
Demikian Rilis OPSI.

Tabik

Timboel Siregar
Sekjen OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia)
0818835521 / 081281394939