Nasi Uduk Dan Kopi Sachet

Adzan subuh berkumandang dari TOA musholla yang tepat menghadap rumah ku. Aku pun bergegas ambil air wudhu melangkah ke musholla, sedikit menahan rasa kantuk dan letih di badan memantapkan hati untuk tetap istiqomah melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim untuk sholat berjamaah.

Selesai subuh aku beranjak pulang, segelas teh hangat menyambutku di meja makan saat ku buka pintu depan. Sayup sayup terdengar istriku masih mengaji di dalam kamar.

Bacaan Lainnya

Waktu begitu cepat, jarum jam menunjukkan pukul 05.25 dan aku harus segera berangkat. Kuraih jaket dan helm, ku nyalakan Si Putih bebek matic yang setia mengantarku kemana saja. Bersiap membelah jalan ibukota yang tak pernah lengang oleh hiruk pikuk kehidupan duniawi, seolah mereka akan hidup selamanya.

Doa tulus istriku menjadi semangat tersendiri setiap pagi.
“Hati hati di jalan ya Yah.” ucapnya sambil meraih tangan ku untuk dicium nya.

Bismillah, kutarik tali gas motorku pelan pelan menyusuri jalan kompleks. Tepat dua blok depan dari rumah, ku belokkan arah motor ke kanan. Mampir sebentar karena ada yang harus ku beli sebagai sarapan.

“Nasi Uduk Sapar” begitu tulisan spanduk yang ada di atas gerobaknya. Ya, disini aku berhenti untuk membeli sarapan pagi, makanan sederhana ukuran kantong kelas pekerja ibukota.

Orek tempe, mie, sambal serta dua buah gorengan cukuplah sebagai bekal. “Nasi Uduk Tigaribuan Ya” begitu Boss ku kalau sering mengolok olok. Tak apalah, bagiku tak terlalu penting menu apa yang ku makan pagi ini. Yang terpenting bagiku sekarang adalah di balik gerobak nasi uduk itu ada sosok yang setiap pagi berharap dagangan selalu laku terbeli, selalu ada yang mampir membawa rejeki untuk keluarganya. Dia adalah seorang kawan mantan pekerja yang mengambil paket pensiun dini di perusahaanku saat ini bekerja. Dia melanjutkan hidupnya dengan berdagang nasi uduk bersama sang istri setiap pagi di samping rumahnya. Dari balik gerobak itu ada tiga nyawa anaknya yang harus terus dinafkahi oleh kawanku ini.

Pukul 06.35 aku sampai di pabrik, masih ada waktu sekitar 25 menit sebelum bel masuk kerja tepat pukul 07.00 pagi. Mengambil tempat di meja istirahat barisan depan ku buka bungkusan kecil yang ku beli tadi, sedikit demi sedikit ku suap ke dalam mulut ku sebagai sarapan pagi.

Selang tak berapa lama datang kawanku di meja yang sama, membawa segelas air panas dari dispenser di pojok ruangan. Lalu diseduhnya sebungkus kopi hitam ukuran sachet. Ditawarkan kepada ku untuk ikut meminumnya, kopinya buruh pabrik kebiasaan kebanyakan kawan kawan ku disini. Satu gelas di seruput beramai ramai oleh kami siapa saja yang duduk di depan meja ini.

Jadi teringat saat latsar ( latihan dasar ) Garda Metal ketika kami hanya dibekali sebotol air mineral untuk kebutuhan satu regu selama perjalanan caraka malam mulai tengah malam hingga pagi datang. Harus cukup untuk semua anggota regu, seteguk demi seteguk kami bergantian, meski dirasa kurang menghapus dahala perjalanan puluhan kilometer. Tapi kami tidak boleh egois, masih ada kawan kawan lain yang merasakan haus yang sama dalam regu itu dan mereka juga butuh minum. Kebersamaan yang luar biasa yang pernah ku rasakan saat itu.

Tak perlu biaya mahal untuk mewujudkan kepedulian dan kebersamaan kita.
Karena ada kepedulian dalam sebungkus nasi uduk, ada kebersamaan dalam segelas kopi sachet. Implementasi ‘Solidary Forever’ ala buruh FSPMI.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *