Menjawab Pernyataan Sandiaga Terkait Komitmennya Pada Buruh

Jakarta, KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan kritik keras terhadap Anies – Sandi terkait dengan penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2018. Said Iqbal bahkan menyebutnya sebagai Gubernur pembohong.

Bersama dengan Koalisi Buruh Jakarta (KBJ), KSPI merupakan salah satu pendukung militan Anies – Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Dukungan ini bukan tanpa dasar. Salah satu dasarnya adalah kontrak politik, yang pada butir pertama disebutkan, bahwa penetapan UMP DKI lebih tinggi dari PP 78/2015.

Serikat buruh, khususnya KSPI, bukan underbow partai politik mana pun. Tidak dalam kendali tokoh politik siapa pun. Sebagai sebuah gerakan perjuangan, KSPI ketika memutuskan sebuah dukungan bukan karena figur. Tetapi karena program yang ditawarkan.

Penting untuk diketahui, semasa Ahok menjadi Gubernur, KSPI memberikan gelar “Bapak Upah Murah” kepada Ahok karena menetapkan UMP sesuai dengan PP 78/2015. Setali tiga uang dengan Ahok, Anies – Sandi justru melakukan hal yang sama.

Buruh kecewa tentu saja. Ternyata janji manis hanya di mulut saja.

Ini dulu yang harus dipahami Sandiaga, agar tidak gagal paham terhadap buruh.

Jika kemudian Sandiaga mengatakan, “Saya ingin menjelaskan dengan Pak Said Iqbal dan temen-temen bahwa kami tentunya tidak akan pernah lari dari komitmen kami menyejahterakan kaum pekerja. Kami hadir di sini untuk justru memberikan solusi,” maka saya ingin mengatakan, bahwa pernyataan ini tidak relevan dengan kritik Said Iqbal dan organisasi serikat buruh yang lain.

Bagaimana bilang berkomitment terhadap kesejahteraan kaum buruh, kalau hanya menaikkan upah sebesar 8,71% sesuai dengan PP 78/2015?

Anies – Sandi tak perlu melakukan apa-apa kalau hanya UMP DKI 2018 naik 8,71%. Kasarnya, sambil tidur pun naiknya juga segitu. Karena, memang, kenaikan upah sebesar itulah yang diminta oleh pemerintah pusat. Sudah ada surat endaran Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Dalam Negeri.

Apakah Anies – Sandi pura-pura tidak tahu, bahwa penetapan UMP adalah kewenangan Gubernur? Tetapi ini tidak dilakukan. Jika Sandiaga mengatakan berpihak pada buruh, seharusnya dia menunaikan janji dengan menaikkan UMP di atas PP 78/2015.

Penjalasan Sandiaga terkait penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2018 yang disertai kompensasi layanan gratis naik transjakarta dan subsidi pangan, justru membuktikan bahwa dia gagal paham dengan buruh DKI Jakarta.

Terkait Trans Jakarta gratis bagi buruh penerima UMP, Anies – Sandi jangan menganggap buruh bisa dibodoh-bodohi. Sejak Agustus 2016, hal itu sudah diberlakukan, melalui Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2016 tentang Pelayanan Transjakarta Gratis dan Bus Gratis bagi Masyarakat (Pergub 160/2016).

Dalam Pasal 4 Pergub 160/2016 disebutkan, Pelayanan Transjakarta secara gratis diberikan kepada masyarakat tertentu yang meliputi : (a) Pegawai Negeri Sipil dan pensiunan Pegawai Negeri Sipil Daerah; (b) tenaga kontrak yang bekerja di Pemerintah Daerah; (c) peserta didik penerima KJP; (d) karyawan swasta tertentu; (e) penghuni rumah susun sederhana sewa; (f) penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu; (g) penerima beras keluarga sejahtera yang berdomisili di Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek); (h) anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Republik Indonesia (POLRI); (i) Veteran Republik Indonesia; (j) penyandang disabilitas; dan (k) penduduk lanjut usia. Pasal 5 Pelayanan Bus Gratis diberikan kepada seluruh la

Sedangkan yang dimaksudkaryawan swasta tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d merupakan karyawan swasta dengan besaran gaji sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang sistem penggajiannya dibayarkan melalui Bank DKI.

Dengan demikian, ini bukan hal baru. Dengan kata lain, bukan karya Anies – Sandi.

Tetapi apakah menggratiskan Trans Jakarta untuk buruh penerima UMP efektif? Tidak.

Buruh yang naik Trans Jakarta rata-rata bekerja di tengah tengah kota seperti Sudirman dan Thamrin, atau di dekat jalan-jalan utama. Trans Jakarta tidak masuk ke dalam kawasan industri, bahkan tidak ada di dalam perumahan-perumahan buruh.

Para buruh penerima UMP itu mayoritas bekerja di pinggiran kota. Seperti di daerah Cilincing, Cakung, Penggilingan, Ancol, Kapuk, Daan Mogot, Circas, Jln Raya Bogor, Sunter, dan Priok. Sehingga para buruh naik angkot dan ojek yang harganya mahal untuk bisa masuk ke kawasan Industri.

Jadi kebijakan gratis Trans Jakarta ini menyisir buruh yang tidak tepat. Itulah sebabnya, meskipun sudah diberlakukan sejak 2016, tetapi bagi buruh, transportasi tetap saja mahal.

Terkait dengan subsidi pangan dengan memberikan sejumlah diskon di Jakmart, yang perlu diketahui adalah, kebanyakan buruh membeli masakan jadi. Karena itu tidak tepat kalau pakai Jakmart, karena tidak ada yang belanja.

Lagipula, komponen penetapan upah minimum yang mahal adalah sewa rumah, kebutuhan air bersih, tarif listrik, transportasi, dan makanan. Kecuali bahan makanan, tidak ada diskon yang diberikan.

Masalah yang lain, Jakmart belum tentu ada di pemukiman buruh. Kalau pun buruh harus ke Jakmart, mereka harus mengeluarkan ongkos lagi untuk transportasi.

Karena upahnya di bawah kebutuhan riil, buruh juga harus nombok. Terkadang mereka berhutang di warung hanya untuk makan. Nah, apakah di Jakmart buruh juga bisa berhutang?

Terakhir, saya ingin mengingatkan kepada Sandiaga terkait satu peribahasa yang mengatakan: Kerbau di pegang talinya, manusia di pegang janjinya (kata-katanya).