Mengkritiklah dengan Sebaik-Baiknya dan Sehormat-Hormatnya

Jakarta, KPonline – Waktu hampir menunjukkan pukul 13.00 WIB, ketika dari atas mobil komando menyampaikan bahwa aksi pada hari itu diakhiri sampai di sini. Sambil balik kanan, sebagian besar massa aksi mengerutu.

“Ini apa-apaan? Aksi tercepat di dunia,” kata mereka.

Padahal aksi 2 Oktober itu merupakan aksi yang besar. Puluhan ribu orang tumpah ruah di jalan, mengepung DPR RI di siang yang terik itu.

Sudah dibela-belain potong gaji, bahkan ada yang ganti hari, tetapi aksi berlangsung hanya setengah hati.

Dalam hitungan menit, beranda media sosial sudah dipenuhi dengan umpatan. Pelampiasan rasa kekesalan.

Beberapa kawan menghubungi saya, meminta agar FSPMI-KSPI melakukan klarifikasi. Sebagai Vice President DPP FSPMI yang juga Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, saya dianggap merupakan orang yang tepat untuk bicara terkait hal ini.

Tetapi saya memilih diam. Membiarkan anggota berbicara. Tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.

Ini memang sejalan dengan slogan yang diusung Media Perdjoeangan, salah satu pilar organisasi FSPMI dimana saya bertanggungjawab di dalamnya. #BicaralahBuruh. Satu ajakan kepada kaum buruh untuk berbicara. Bahkan jika itu adalah kritik terhadap kebijakan untuk internal.

Pasal 1 bahwa pimpinan selalu benar tidak berlaku dalam gerakan serikat pekerja. Ia harus dibangun dengan bottom up. Mendengarkan suara dari akar rumput.

Sepanjang yang saya tahu, tidak ada organisasi yang hancur karena dikritik anggotanya sendiri. Itulah sebabnya, ketika saya tahu banyak kader mengkritik keputusan aksi cepat itu, saya merasa gembira. Ini pertanda bahwa alarm di internal organisasi masih berjalan.

Di grup WA maupun facebook, ketika ada permintaan untuk menghapus postingan dari netizen yang kritiknya dinilai terlalu pedas, saya pun menolak. Kalaupun apa yang disampaikan salah, silakan disanggah. Kita harus membiasakan diri untuk berdialektika.

Dugaan saya benar. Itu tidak akan lama. Setelah semua uneg-uneg keluar, mereka kembali menyusun barisan. Bahkan menyerang balik pihak eksternal yang mengambil momentum terhadap keputusan untuk pulang cepat ini.

Apa yang Sesungguhnya Terjadi?

Bagi beberapa kawan yang ikut “rapat teklap” sehari sebelumnya, hal ini sesungguhnya tidak mengejutkan. Dalam rapat itu diputuskan, bahwa aksi hanya berlangsung setengah hari. Selambat-lambatnya jam 14.00 WIB.

Takut rusuh atau disusupi pihak lain? Tentu saja tidak. KSPI sudah terbiasa melakukan aksi. Punya satgas yang bisa menghalau jika ada penyusup. Pun beberapa peserta sudah mempersiapkan diri dari kemungkinan adanya hujan gas air mata.

Lagipula, sejak awal sudah disampaikan bahwa ini adalah aksi damai. Aksi buruh selalu berjalan tertib.

Setelah dalam beberapa hari ini aksi selalu berakhir ricuh, KSPI hendak memperlihatkan kepada masyarakat bahwa penyampaian pendapat di muka umum bisa dilakukan dengan cara yang simpatik. Ini sebagai cermin organisasi yang terkonsolidasi. Satu komando satu pergerakan.

Aksi kali ini adalah untuk menyampaikan pesan kepada anggota DPR RI yang sehari sebelumnya dilantik, agar tidak melanjutkan pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan. Pesan yang sama juga disampaikan kepada pemerintah, agar segera merevisi PP 78/2015 dan tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Pesan sudah disampaikan. Sekitar 30 ribu orang yang hari itu turun ke jalan, dalam barisan yang tertip dan solid, memperlihatkan jika massa aksi berada dalam satu komandan. Mereka bukan massa liar yang bergerak sendiri-sendiri.

Jika suara kaum buruh tidak didengar, dengan komando yang sama, mereka akan kembali keluar dari pabrik-pabrik untuk turun ke jalan.