Mengapa Film “Jakarta Unfair” Dilarang Diputar di Cinema XXI TIM?

Jakarta, KPonline – Unit Pengelola Teknis Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta melarang pemutaran film dokumenter Jakarta Unfair. Ketua pelaksana penayangan dan diskusi film, Rahma Indira Marino, menyatakan panitia berencana memutar Jakarta Unfair pada 26 November 2016, tapi pada saat akan memasang baliho di depan pintu masuk TIM sehari sebelum pemutaran, keluar larangan dari Unit Pelaksan Teknis TIM.

“Pihak Unit Pelaksana Teknis TIM merasa berisiko bila film itu diputar di Kompleks TIM,” kata Rahma.

Jakarta Unfair yang diproduksi oleh WatchDoc rencananya akan diputar di gedung bioskop Cinema XXI, TIM, Sabtu 26 November 2016 pukul 19.16 WIB sebagai bagian dari rangkaian dari acara 10th Documentary Days 2016. Penyelenggaranya adalah Fakultas Ekonomi dan Bisnis  Universitas Indonesia.

Film itu dibuat oleh 15 relawan dari berbagai kampus di Jabodetabek yang merekam penggusuran-penggusuran perkampungan-perkampungan dan rumah-rumah warga di DKI Jakarta selama enam bulan sejak April silam.

Beberapa adegan dalam film menampilkan rekaman video pasangan Jokowi-Ahok, saat mereka maju ke Pilkada DKI Jakarta 2012 lengkap dengan janji-janji manis bagi warga miskin dan terpinggirkan, termasuk video Jokowi yang bercerita pengalamannya saat rumahnya di pinggir Sungai Bengawan Solo, tergusur.

Ketika membaca berita terkait larangan pemutaran film ini di TIM, saya bertanya-tanya. Apa yang membuat film ini begitu menakutkan sehingga harus dilarang? Padahal, film ini hanya memotret realitas di lapangan. Jika memang itu, berarti, kebenaran sengaja dibungkam.

Saya sendiri menonton Jakarta Unfair dalam workshop yang diselenggarakan KSPI di Training Center FSPMI, Cisarua, tanggal 15 November yang lalu. Ini film yang bagus dalam mengangkat kisah penggusuran di Jakarta. Jadi agak mengherankan jika Cinema XXI TIM melarang pemutaran film ini.

Ketika membaca catatan kawan-kawan usai menonton film ini, saya kemudian bisa memahami. Wajar jika film ini terlihat begitu menakutkan. Karena, ia — film ini — menyuarakan suara-suara yang selama ini tak terdengar. Suara orang kecil yang menuntut keadilan. Suara yang tak dikehendaki oleh mereka yang duduk di singgasana kekuasaan.

Dan tentu saja, saya menyesalkan adanya larangan pemutaran film seperti ini.

Berikut adalah komentar beberapa kawan usai menonton film tersebut.

Anang Subakti

Lihatlah film Jakarta Unfair. Film dokumenter yang dibuat beberapa mahasiswa Jakarta dari jurusan Komunikasi dan Jurnalistik.

Akan diperlihatkan, bagaimana penduduk yang ber KTP DKI Jakarta dianggap sebagai penduduk liar. Bagaimana anak-anak korban gusuran kehilangan tempat bermain.

Karena kehilangan mata pencaharian, 6000 lebih dari 13.000 korban gusuran terancam diusir lagi dari rumah susun karena menunggak pembayaran sewa rusun. Status ke 6000 orang itu sedang menunggu diusir karena pintu rusunnya disegel pengelola.

Pantesan petahana diusir dimana-mana kalo kampanye . Di beberapa rusun yang katanya layak itu, ternyata sangat tidak layak. Seperti tidak ada batasan kamar anak dan orang tua. Kondisi air yang sulit. Sampai kurang layaknya sanitasi. Belum lagi banyak juga yang mengalami kebocoran. Para mahasiswa pembuat film dokumenter ini, ikut merasakan kondisi rusun dengan ikut hidup di dalam rusun untuk mendokumentasikan kegiatan korban gusuran langsung dari tempatnya. Dibutuhkan waktu 6 bulan untuk membuat film dokumenter ini di semua tempat gusuran.

Darmo Juwono

Jakarta Unfair. Dalam bahasa indonesia “Jakarta Ngga Adil”.

Kisah kemanusiaan yang sudah berlangsung sejak rezim berkuasa dihasilkan oleh kebebasan pilkada langsung. Pilkada pasca reformasi yang dimodali oleh pengembang. Pengembang yang diduga kuat menggelontorkan triliunan untuk sponsor kemenangan pilkada dan pemilu.

Sungguh menyedihkan saat kemanusiaan ditindas malah mendapat pembenaran.

Suhari Ete

Jakarta Unfair. Film yang merekam suara warga korban penggusuran yang tenggelam dalam arus media utama.

Opini mengenai positifnya penggusuran dengan dalih “kepentingan bersama” merupakan opini yang dibangun untuk melegalkan penggusuran. Ditambah lagi, opini kelas menengah Jakarta yang makin menenggelamkan suara warga korban penggusuran dengan labeling “biang kerok banjir” atau “warga liar” kepada warga korban penggusuran. (*)