Mengantisipasi Era Revolusi Industri ke 4

Jakarta, KPonline – Industri bisa saja berubah karena berbagai perkembangan teknologi. Tapi persoalan krusial model kepemilikkan perusahaan itu menentukan sekali bagaimana sebuah bisnis itu akan berlaku adil atau sebaliknya, menjadi semakin memeras dan menindas.

Era Revolusi Industri ke 4 ditandai dengan interkoneksi berbagai perangkat dan manajemen secara melompat. Internet of things, intelejensia artifisial, robotik kelas canggih, teknologi bio, telah membuat perusahaan menjadi bekerja lebih ramping dan semakin produktif.

Perubahan yang terjadi membawa perubahan habitus baru. Orang serba dimudahkan dengan sambungan internet. Pola konsumsi, interaksi sosial, produksi barang dan jasa berubah semua. Dunia ada dalam gengaman tangan. Tapi pola relasi sosial yang diciptakan korporasi yang ada tetap saja subordinatif menindas.

Ada yang menarik dari perubahan revolusioner yang terjadi. Ternyata aksestabilitas yang serba canggih saat itu tidak merombak pola kepemilikkan perusahaan yang ada. Justru sebaliknya, pola kepemilikan yang terjadi justru membuat semakin konsentratif dan monopolistik. Sebut saja misalnya, dalam pola bisnis basis platform yang marak saat ini. Para pengguna dan agen tetap dalam posisi sebagai obyek dari eksploitasi baru.

Sebut misalnya dalam bisnis Gojek, Grab yang ada saat ini. Bisnis ini menjadi monopolistik dalam urusan transportasi. Konsumen dimanjakan, tapi agen-agennya seperti para pengemudinya semakin diekploitasi. Mereka selain tak punya kuasa terhadap penentuan tarif juga sebagai penanggung resiko dari bisnis sepenuhnya tanpa adanya tanggungjawab sosial sedikitpun dari pemilik bisnis aplikasi.

Anehnya lagi, aspirasi para pengemudi ini sudah berulangkali disuarakan, tapi pemerintah tak juga mampu berbuat apapun untuk mengintervensinya. Konsumen yang berpola pragmatik semakin tak peduli dan mereka yang bekerja semakin tertindas saja.

Transportasi adalah salah satu bentuk layanan publik. Tapi layanan publik ini sekarang berada dalam kuasa pemilik aplikasi yang ternyata sudah dikuasai sepenuhnya oleh investor asing yang tujuanya hanya mengejar keuntungan. Pemerintahpun di depan mereka dibuat tak berdaya. Tak ada lagi perlindungan bagi para agen/ pengemudi yang ada.

Tak hanya itu, fitur-fitur baru dalam bisnis antara telah berkembang.Tapi semua itu bekerja hanya demi menumpuk keuntungan yang semakin konsentratif pada pemilik aplikasi.

Kita seperti sedang disuguhi oleh satu peristiwa kolosal penindasan seperti yang digambarkan dalam film “Hunger Games”. Para agen itu menjadi pihak yang semakin tak berdaya sementara konsumen dan pemilik aplikasi menjadi penikmatnya.

Kamuflase Kapitalisme

Pertanyaan selanjutnya, benarkah pola kerja bisnis platform yang ada saat ini sudah mewakili era yang disebut bisnis berbagi yang adil? Benarkah kemitraan yang terjadi antara bisnis platform yang dibentuk sudah penuhi prasyarat sebagai bisnis yang memampukan bagi setiap orang dan menjamin partisipasi setiap orang? Lantas idealnya bisnis berbagi itu seperti apa?

Profesor Ferdinand Tonnies (1858-1936), Sosiolog Jerman sebetulnya sudah membuat prediksi tentang era masyarakat baru tersebut. Setelah dua puluh tahun terbitkan buku babon tentang jenis masyarakat “der Gesselschaft und der Gemeinschaft “, dia lakukan penelitian lanjutan terhadap masyarakat komunal di Inggris.

Dalam penelitianya, dia temukan jenis baru masyarakat yang dia sebut dengan der Gennosenschaft atau dalam bahasa Inggris disebut co-operative atau dalam bahasa Scandinavianya disebut Andelslag, dan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kooperasi.

Der Gennossenschaft yang dalam pemberian kata sandangnya ini berjenis perempuan. Sebuah masyarakat yang tetap terikat pada nilai-nilai tradisi seperti halnya dalam sistem masyarakat paguyuban (gesselschaft).

Namun lebih maju dari sistem masyarakat paguyuban, mereka sudah terikat dalam bentuk perjanjian formal atau statuta perusahaan dalam model masyarakat patembayan (gemeinschaft). Bedanya dengan model gemeinschaft, tidak diperuntukkan untuk mengejar keuntungan (profit oriented) melainkan mengejar kesejahteraan bagi semua (benefit oreinted).

Masyarakat koperasi ini disebut sebagai beyond dari sistem kapitalisme yang ada, namun bukan dalam jenisnya yang maskulin dalam bentuk fasisme (herrsschaft). Masyarakat koperasi mengandai bahwa hubungan dari individu itu setara dan egalitarian, tidak sub-ordinat ataupun superordinasi dalam sistem masyarakat fasisme.

Ekonomi berbagi adalah ekonomi yang ditandai dengan adanya berbagi sumberdaya yang dimiliki secara pribadi dengan dihubungkan atau berhubungan dengan orang lain yang membutuhkan barang atau jasa yang kita miliki agar memiliki nilai tambah. Jadi jelas ekonomi berbagi ini sudah lama terjadi dan bukan terjadi ketika bisnis basis internet dan platform terjadi.

Dulu orang di kampung sudah melakukan bisnis ini dengan berbagi tenaga dan sumberdaya untuk bangun rumah, membangun jembatan, jalan dan lain sebagainya. Dalam tradisi masyarakat kita disebut dengan bergotong royong. Ini sesudah hidup lama di masyarakat kita. Masyarakat kita jaman dahulu berbagi dengan perasaan solidaritas.

Jadi teknologi apapapun itu kalau bersifat teknikal, maka hanya akan menjadi masalah teknik saja. Para pemilik bisnis platform yang memilih badan hukum Persero itu jelas hanya inginkan teknik mengeruk keuntungan dan bukan bagaimana cara membuat bisnis masa depan memang mampu merobah kondisi banyak orang untuk mengambil partisipasi dan manfaat dalam model bisnis basis sumberdaya kerumunan (croudsourching).

Nah, untuk menghindari eksploitasi maka perlu koperasi basis platform. Disini sebetulnya pemerintah bisa berperan. Misalnya bentuk permodalan melalui skema Penanaman Modal Negara/ Daerah (PMN/D) dan asistensi manajemen. Regulasinya sebetulnya sudah mencukupi. Ada Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1998 Tentang Penyertaan Modal Negara terhadap Koperasi.

Dalam perkembanhanya, koperasi kedepanya bisa bersifat multipihak. Konsumen atau pelanggan yang terdaftar juga bisa jadi anggota koperasi. Pemerintah juga bisa membuat perwakilan di dalamnya untuk pastikan semua berjalan lancar sesuai koridor regulasi.

Aksiomanya, apa yang tak kamu miliki tak akan mungkin kamu kendalikan. Mungkinkah ini akan jadi abad pencerahan koperasi? Atau justru era 4.0 ini jadi bentuk monopoli baru dari penindasan sistem bisnis dengan sampah sosialnya? . Semua tergantung dari kita semua.

Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES)